Paras Ayu Waduk Malahayu

Otak yang semula mendidih akibat terbakar sengatan matahari menjadi dingin, pikiran pun kembali ngejreng saat dua bola mataku menatap hamparan air di waduk Malahayu. “Mmm…Malahayu, parasmu pancen ayu,” gumamku.

OLEH ABU FADIA

Rabu (8/9/2010) sekira pukul 13.00 WIB tepatnya dua hari menjelang Lebaran 1431 Hijriah, cuaca begitu panas membuat urat saraf otak meronta-ronta seolah ingin keluar dan berendam di kolam yang berisi air Zam-zam. Hiruk pikuk warga yang hendak prepegan (tradisi belanja di pasar dua hari menjelang Lebaran-red) menambah sengatan matahari makin terasa.

Belum lagi suara deru klakson dan knalpot dari bebek mesin asal Jepang. Rasanya ingin merontak dan berteriak karena tidak kuatnya menahan panas siang itu. Meski cuaca kurang bersahabat aku tetap melaju menarik gas motor merk vario warna merah milik adiku. “Kita syukuri aja, hujan juga berkah panas juga berkah bagi para pedagang es,” hibur saya dalam batin di tengah rasa putus asa yang menggelayut dalam pikiranku.

Perjalanan kali ini ditemani istri dan Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami yang lahir sehari sebelum peringatan Hari Kartini yaitu Sabtu, 20 April 2008 sekira pukul 03.00 dinihari. Waduk Malahayu yang berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, merupakan target tour wisata yang sudah aku incar sejak lama. “Pokoknya aku harus ke waduk Malahayu,” kataku pada istri saat hendak mudik.

Rasa keinginanku untuk bisa keliling Waduk pun tak terbendung. Aku pun langsung memanggil pria berkulit sawo matang pemilik perahu di kawasan tersebut untuk mengajak keliling Waduk, yang memiliki luas kurang lebih 944 hektare. “Berapa keliling waduk?” tanyku pada pemilik perahu. Setelah negoisasi beberapa saat akhirnya harga disepakati yaitu Rp 20.000 per kepala karena selain kami bertiga ada dua pengunjung lainnya yang memiliki niat sama.

Kami bertiga pun naik perahu yang panjangnya kurang lebih tujuh meter dengan warna cat dominan biru muda mirip warna telor asin, yang menjadi ciri khas Kota Brebes. Gumpalan awan hitam bergelantungan di langit mengepung bukit-bukit kecil di kawasan waduk Malahayu. Guratan pada kayu jati tua dan suara riak-riak air dari bawah perahu memperlihatkan nuansa alam yang begitu kental. “Mmm… parasmu sungguh ayu,” gumamku berkeliling dengan perahu tradisional.

Menurut data di Wikipedia, waduk Malahayu dibangun tahun 1930 oleh Kolonial Belanda. Lokasinya berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah atau sekira 45 menit dari Kecamatan Ketanggungan. Fungsi waduk sendiri disamping sebagai sarana irigasi lahan pertanian di wilayah Kecamatan Banjarharjo, Kersana, Ketanggungan, Losari, Tanjung dan Bulalakamba juga sebagai pengontrol banjir.

Perkembangan terakhir, waduk tersebut juga dimanfaatkan untuk tempat rekreasi dan perkemahan. Posisi waduk yang dikelilingi bukit dan hutan jati menjadikan tempat ini terlihat ayu. Warga sekitar Kota Brebes menjadikan tempat ini alternative rekreasi karena biaya tiket masuk yang murah hanya Rp 5.000 per motor atau Rp 10.000 untuk satu mobil.

Berbagai fasilitas tersedia di kompleks wisata ini antara lain kolam renang anak, mainan anak, becak air, perahu pesiar, perahu dayung, panggung terbuka serta disediakan tempat parkir yang cukup luas.

Sepanjang berkeliling waduk dengan perahu tua, kami bertiga menikmati nuansa alam yang eksotis dan ayu. Otot yang semula tegang menjadi lentur setelah memandangi bukit dan riak-riak air di waduk. Konon menurut mitos warga setempat, air waduk Malahayu memberikan manfaat untuk melanggengkan pasangan pengantin baru. Tak heran banyak pasangan pengantin baru membasuh mukanya dengan air waduk.

Dari tadi bicara waduk, makananya bagaimana?. Jangan-jangan tidak ada penjual makanan. Eit, sabat dulu. Anda tak perlu khawatir soal makanan karena meski hanya waduk tapi tak banyak penjual makanan di kawasan ini.

Di waduk ini, kita bisa menikmati renyahnya ikan mujair goring yang disediakan para pedagang. Menu ini adalah hidangan istimewa. Kemudahan mendapatkan makanan di tempat ini membuat sebagian kalangan memanfaatkan tempat ini untuk menggelar berbagai jenis lomba seperti balap perahu, lomba mancing, dan sebagainya. Puas menikmati nuansa alam waduk, anda yang hobi wisata kuliner bisa melanjutkan perjalanannya ke rumah makan Murni di Kecamatan Ketanggungan atau sekira 45 menit dari waduk.

Di rumah makan ini kita bisa menikmati lezatnya sate kambing muda, teh poci dengan pemanis gula batu dan sop. Lokasinya mudah dijangaku karena berada di jalur utama Brebes-Purwekerto. Tepatnya di samping Koramil Ketanggungan atau sekira 500 meter dari pintu Tol Pejagang, Kabupaten Brebes. Penasaran silahkan datang. Kenali negeri mu cintai negeri mu.

Oregano Banten, Nuansa Mah di Bali


Ada beberapa hal yang membuat orang mendatangi sebuah rumah makan. Pertama karena rasa makanan, suasananya dan terakhir pelayanannya.


Oleh Abu Fadia


Dari tiga alasan di atas tampaknya suasana rumah makan Oregano lebih menonjol daripada dua alasan lainnya. Rumah makan yang terletak di Jalan Bhayangkara, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten, ini menonjolkan nuansa Bali meski adanya di daerah yang terkenal jawaranya yaitu Banten. Pada dua sudut di pintu gerbang terdapat umbul-umbul, sedangkan pagar rumah makan memanfaatkan bambu-bambu kecil yang dirapatkan.


Suasana Bali makin terasa ketika kita masuk ke dalam rumah makan. Tampak beberapa saung bambu berdiri di kelilingi aneka tanaman membuat tempat ini teduh dan terasa di sebuah taman. Di tengah saung terdapat meja kayu warna cokelat sedangkan di tepi kayu terdapat bongkahan kayu cekung yang berisi beberapa majalah nasional terkenal. Saung inilah yang dipakai pengunjung untuk menikmati menu makanan dan aneka minuman. Mulai dari oregano sampai nasi goreng gila, dari jus mangga sampai alpukat bisa dipesan di rumah makan ini. Pemilik rumah makan sepertinya betul-betul tidak mau melepaskan unsur alam yang telah melekat di tempat ini. Inilah yang membuat pengunjung betah sehingga tak jarang makanan sudah habis tapi masih berbincang-bincang hingga berjam-jam.


Bagi saya, kunjungan ke rumah makan Oregano pada bulan Ramadan kali ini (Sabtu, 28/8/2010) merupakan kali ketiganya. Biasa ikut makan gratis dengan beberapa relasi dan rekan-rekan satu profesi. “Teh kok mirip di Bali sih,” tanya saya Yuni, salah satu pelayan rumah makan yang memakai seragam orange. Wanita yang mengaku asli Rangkasbitung, Provinsi Banten ini, menuturkan bahwa pemilik rumah makan Oregano memang asli dari Bali jadi gayanya juga mirip Bali. “Kan yang punya orang Bali, wajar kalau gayanya seperti Bali,” kata Yuni yang mengaku hanya mengingat nama bosnya yaitu Ida. “ooh, pantesan aja kok banyak miripnya dengan rumah makan di Bali,” gumam saya setelah mendengar keterangan dari pelayan. Untung saya pernah ke Bali meskipun hanya sekali tapi cukup menjadi bukti. Sambil menunggu sirine dari masjid terdekat sebagai pertanda buka puasa, saya dan rekan-rekan Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Harian Kabupaten Serang berbincang-bincang seputar isu terkini baik lokal maupun nasional.


Canda dan tawa menghiasi suasana buka puasa bersama di hari itu. Tertawa saat mendengarkan cerita lucu yang pernah dialami rekan ataupun orang lain. Sekira pukul 17.50 WIB, makanan ta’jil pun disodorkan di atas meja oleh pelayan. “Pak, pesan makanannya sekarang saja biar disiapkan jadi menunggunya tidak terlalu lama,” kata salah salah satu pelayan yang tampaknya khawatir jika kami hanya memesan minum. Yah, mungkin melihat tampang kami yang ketahuan bukan orang berduit padahal memang betul adanya. Tak lama kemudian terdengar sirine dari speaker salah satu masjid di dekat rumah makan, yang langsung diikuti kata Alhamdulillah. Menu takjil yang disediakan pemilik rumah makan hari itu adalah secangkir teh manis dan kolek. Srupp. Srup…ha, haus pun lenyap dengan empat sendok kolek dan seteguk teh manis. Usai menyantap takjil kami shalat bergiliran di salah sudut rumah makan yang berada di pojok utara.


Di tempat shalat dan kamar mandi saya kembali menemukan nuansa alam yang membuat jiwa tenang. Area yang dipakai shalat sengaja dibikin oleh sang pemilik tanpa skat apapun sehingga hembusan angin begitu terasa dan menambah kekhusukan shalat. Sementara itu, di bagian kamar mandi pun tak lepas dari penyatuan alam. Pada lantai kamar mandi mungil pemilik menggunakan batu-batu kecil sehingga kita merasa di tepian sungai di daerah pegunungan. Manja pengunjung tak berhenti di sini. Rumah makan yang hanya berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ini, pengunjung juga dimanjakan dengan jalan penghubung yang dilapisi batu-batu kecil. Area ini cocok bagi anda penderita rheumatik. Shalat Maghrib sudah dilakukan dan sekarang giliran menyantap oregano plus jus mangga. Nikmat benar, rasanya betul-betul ma nyos apalagi diselingi canda dan tawa tentang cerita-cerita lucu atau yang memotivasi.


Oregano dalam Wikipedia adalah jenis tanaman yang biasa di Mediterania dan Asia Tengah dan Selatan. Tanaman yang memiliki nama binomial origanum vulgare ini cocok digunakan untuk membuat makanan seperti pizza dan spaghetti. Tanaman ini memiliki panjang kurang lebih 20-80 centi meter. Kenikmatan oregano tidak mungkin dirasakan dalam tulisan tapi harus dirasakan sendiri oleh lidah kita. Dari tadi cerita enaknya, harganya bagaimana?, jangan-jangan mencikik leher nih. Meski tidak tahu persis berapa harga per item karena tidak tertera, tapi menurut informasi orang yang traktir kurang lebih Rp 500.000 untuk tujuh orang. Penasaran?, silahkan kunjungi sendiri. ***

Pulau Sanghyang, Indahnya Tak Terbayang

Deburan ombak, gulungan gelombang dan kicauan burung elang, menyambut siapapun yang datang ke Pulau Sanghyang. Mereka akan selalu memberikan salam penghormatan kepada pengunjung termasuk saat saya mendatangi lokasi yang indahnya tak terbayang sebelumnya.


OLEH KARNOTO


Pekan lalu, saya menyambangi pulau Sanghyang, sebuah kawasan wisata di Kabupaten Serang yang aksesnya hanya bisa menggunakan perahu. Kawasan ini memiliki luas kurang lebih 377 hektare yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu permukiman, tempat latihan perang TNI dan kawasan konvervasi. Di Sanghyang kita bisa melihat keindahan tebing tinggi yang artistik, pancaran laut biru yang jernih sehingga tembus pandang, suara deburan ombak, burung elang yang terbang dengan gagah meliuk-liuk di ata laut sambil berkicau, semua penghuni alam itu menyatu di pulau ini.

Merekalah yang menyambut dan menemani kita selama mengelilingi Pulau Sanghyang. Yah, mereka akan setiap menemani setiap pengunjung hingga bosan, berapa lamanya pun kita keliling mengitari tebing, laut dan elang akan setia menemani. Kepenatan selama di kota dengan beragam aktivitas lenyap ketika memasuki Sanghyang. Menyatunya karakter masing-masing penghuni alam mulai dari suara deburan ombak yang menghantam karang ataupun kicauan burung elang, membuat batin seperti sedang dicuci sehingga memutih kembali.

Noda hitam hati akibat kepenatan dan stress selama di kota sirna tersapu angin yang menghembus membawa air laut hingga membentuk karang dan menimbulan suara indah.

Byur…byur…byur, suara ombak saat menghantam karang seperti memberikan salam penghormatan kepada para tamu yang berkunjung ke Sanghyang. Keberadaan ombak, angin dan karang dengan segala isinya, tak hanya cukup dirasakan. Bagi pengunjung pun bisa bercengkrama dengan kehidupan di dalam laut mulai dari aneka jenis ikan, karang, ataupun bermain-main dengan gelombang. Di Sanghyang kita bisa berenang sambil melihat jenis ikan yang warna-warni karena jernihnya air laut membuat takjub mata karena tembus pandang.

Radar Banten yang turut serta berenang merasakan kenikmatan luar biasa. Tak hanya membersihkan badan tapi juga membersihkan batin karena kekaguman atas sang pencipta yang telah menjinakan alam di Sanghyang untuk kesenangan manusia.

Jika sudah merasa bosan bercengkrama dengan ombak ataupun karang, kita bisa kembali naik ke perahu untuk memulai aktivitas baru yang mengasyikan yaitu memancing. Meski hanya sekadar mencari kenikmatan tapi memancing bisa merenggangkan urat saraf karena aktivitas ini penuh keceriaan. Kondisi laut yang masih alami membuat ikan merasa betah tinggal di Sanghyang. Tak heran para nelayan selalu menuju tempat ini untuk mencari ikan termasuk beberapa wisatawan yang memiliki hobi memancing.

Sekira pukul 11.30 WIB, di saat matahari mulai memancarkan sinar panasnya, Radar Banten dan rombongan menuju ke dermaga sederhana yang dibuat nelayan untuk meneruksan perjalanan menuju ke dalam kawasan Sahngyang.

Di dalam kawasan kita akan menemukan aneka jenis tumbuhan,mulai dari rotan, jati ataupun pohon kelapan. Ada sekira 40 kepala keluarga (KK) yang tinggal di kawasan ini sehingga kita tidak perlu khawatir soal makanan, karena ada penduduk yang berjualan meski tidak sekomplit di perkotaan.

Memasuki kawasan kita bisa belajar cara membuat kopra kelapa kepada warga setempat. Kopra inilah yang menjadi andalan warga untuk mendapatkan uang. Tak hanya rumah penduduk, musala mungil pun tersedia di dalam kawasan lengkap dengan sarana wudlunya. Jadi bagi anda yang baru kali pertama datang ke Sanghyang tak perlu khawatir akan kelaparan.

Berakhirkah kenikmatan kita sampai di dalam kawasan?. Masih ada satu tempat lagi yang bisa kita jamah di Sanghyang yaitu pantai Sepanjang. Lokasinya hanya sekira 500 meter dari permukiman penduduk dan bisa ditempuk dengan perjalanan kaki.

Menurut informasi dari warga setempat, pantai sepanjang pernah dijadikan lokasi syuting Tamara Blezzenky dalam film terbarunya. “Lah ini dua genset pernah disewa syuting Tamara,” kata salah satu warga. Pantai berpasir putih ini cukup eksotis karena masih alami. Pada dua bagian lekukan di ujung kanan dan kiri terdapat tebing tinggi yang kokoh mirip pantai di Bali. Kawasan Sanghyang terbagi menjadi tiga bagian yaitu permukiman, latihan militer dan konvervasi.

****

Perjalanan Menuju ke Sanghyang

Untuk menuju Pulau Sanghyang hanya bisa dilakukan dengan sarana transportasi perahu. Pada pekan kemarin, Radar Banten bersama rombongan menggunan dermaga Sanghyang Resort dan SPA di Desa Cikoneng. Bagi pengunjung Kota Serang, Cilegon, Pandeglang dan Lebak bisa langsung ke dermaga atau menghubungi langsung nelayan yang biasa mengantarkan pengunjung.

Sementara untuk pengunjung dari luar Banten, seperti Jakarta dan sekitarnya. Arahkan kendaraan ke kawasan pantai Anyer dan masuklah ke Sanghyang Resosrt and SPA di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer atau sekira 500 meter dari pasar Anyer. Di sinilah terdapat dermaga dan beberapa perahu yang biasa digunakan untuk mengunjungi Sanghyang.

Berapa harga sewa perahunya?, pasti mahal kan ke pulau?. Untuk masalah harga para pemilik perahu biasanya menjadikan kunjungan ke Sanghyang dalam satu paket dengan harga Rp 3,5 juta paket satu hari, terdiri biaya sewa sehari, makan dua kali di pinggir laut dengan menu bakar ikan, sambal tomat dan lalaban.

Untuk satu perahi mampu menampung kurang lebih 20 orang dengan pendamping dari nelayan 6 orang. Nelayan inilah yang akan mendampingi kita selama perjalanan termasuk memberikan informasi sekilas tentang kondisi Sanghyang. Mereka pula yang akan mencari ikan untuk menu makan siang dan sore hari termasuk mengajari berenang.

Perjalanan dari dergama menuju ke Sanghyang kurang lebih satu jam, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi pinggiran Sanghyang kurang lebih 1,5 jam. Tak puas dengan pinggiran Sanghyang, kita bisa masuk ke dalam area Sanghyang dan bisa berbincang-bincang dengan warga setempat.

Oleh-oleh Sanghyang

Karena tempatnya berada di tengah laut maka tidak ada oleh-oleh yang biasa dibawa selain hasil laut. Ikan segar dengan aneka jenis, bentuk dan warna, tempurung keong, itulah oleh-oleh yang bisa kita dapatkan dari Sanghyang. Namun tak perlu khawatir karena di kawasan Anyer kita bisa mendapatkan oleh-oleh yang masih bercirikan dengan laut.

Ngresep Teh Pocinya, Ma Nyos Satenya


Mi tolong dong buatkan teh poci,” pinta saya kepada istri setiap pagi dan sore. Ngeteh dengan peralatan poci berbahan tanah liat dan gula batu bukan saja menghangatkan badan tapi membuat saya selalu merasa tinggal di tanah kelahiran.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Moci di daerah kelahiran saya yaitu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dikenal dengan istilah moci. “Moci, ei, moci, iuran juga tidak apa-apa kok,” kata Toto, salah satu teman permainan saya sekira tahun 1992. Hampir setiap haris aktivitas moci dilakukan dan biasanya mulai ngumpul-ngumpul antar pukul 20.00 WIB hingga 23.00 WIB.

Moci adalah kebiasaan orang di tanah kelahiranku yang suka minum teh seduh dalam poci yang terbuat dari gerabah ukuran kecil. Sebelum dituangkan ke dalam cangkir kecil, poci diisi air panas dan teh yang rasanya khas. Setelah air sudah pekat maka dituangkan ke dalam cangkir yang sudah diberi gula batu. Ngresep dan kesegaran tubuh itulah yang akan kita dapatkan setelah moci.

Selain untuk sarana berdiskusi atau ngobrol, moci bagi sebagian besar masyarakat Brebes juga dijadikan peluang bisnis dengan mendirikan kedai atau rumah makan. Di Rumah Makan “Murni” misalnya, selain menjual sate kambing muda, pemilik yang juga mertua saya menyediakan teh poci. Rumah makan ini berada di pertigaan Desa Pejagan, Kecamatan Tanjung. Tepatnya, 20 meter dari pos jaga polisi Pejagan pada belokan jalan yang ke arah Purwekerto, Jawa Tengah.

Melihat peluang yang besar setelah ada pembangunan Tol Pejagan sekira tahun 2009, pemilik pun membuat cabang baru di Desa Ketanggungan, Kecamatan Ketanggungan, persis di samping Markas Koramil Ketanggungan atau sekira 200 meter dari pintu Tol Pejagan. Pengamatan saya, hampir dipastikan rumah makan di daerah pantai utara (Pantura) ini menyediakan moci dengan harga sekira Rp 6.000 per porsi. Bagi yang memiliki uang cukup maka moci akan dipadukan dengan makanan sate kambing muda. Ngresep dan ma nyos, itulah perpaduan dua rasa yang akan kita rasakan ketika moci dan makan sate kambing muda secara bersamaan.

Menurut Pande Made Kutanegara, Antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekira abad ke-17, wilayah pantura sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China. “Pada masa lalu, daerah pantura merupakan jalur perdagangan yang ramai,” kata Pande seperti yang dikutip Kompas, edisi Minggu (18/7). Pasca lulus SLTA tahun 1999 dan merantau ke Kota Serang, Provinsi Banten, kebiasaan moci sempat terhenti beberapa tahun. Selain terbawa arus kesibukan dunia kampus juga sulitnya mencari barang dan bahan untuk moci. Kebiasaan moci mulai “kambuh” lagi di tahun 2003, dimana momen ini adalah tahun pernikahan saya dengan seorang wanita asal Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang sudah enam tahun tinggal di Kota Solo.

Sejak saat itu saya kembali menikmati ngresepnya moci sampai sekarang. Apalagi, mertua memiliki rumah makan yang menyediakan moci selain sate kambing. Bahkan untuk mempertahankan kebiasaan mocil saya pun membawa bahan-bahannya langsung dari Brebes. Kebiasaan moci biasa saya lakukan setiap pagi sekira pukul 06.30 WIB sebelum berangkat kerja dan pukul 20.00 WIB, usai pulang kerja.

Kini, seiring perkembangan gaya hidup masyarakat Indonesia. Budaya minum teh di kota-kota besar seperti Jakarta sudah menjadi peluang bisnis bagi sebagian masyarakat. Minuman yang dulu dianggap “zadul” ini kini dikemas dengan citra yang lebih modern. “Ada kenikmatan gaya hidup di dalamnya,” tulis wartawan Kompas, Lusiana Indrisari dan Yulia Sapthiani, edisi Minggu (18/7/2010).

Dengan moci persahabatan orang mulai merekat dan tumbuh alamiah. Citra rasa pada pekatnya teh dan manisnya gula batu yang khas menambah kebugaran tubuh dan semangat pun tumbuh. Sejak kebiasaan moci kembali muncul, saya selalu menyajikan poci kepada teman-teman dan para tamu yang berkunjung ke rumah. “Sekalian mengenalkan tradisi daerah dan promosi rumah makan milik mertua,” kata saya dalam hati. ****

Konsep Istana, Arsiteknya Rasulullah Saw


Sungai di luar benteng Keraton Kaibon, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, tak sekadar memegang fungsi keamanan tapi bentuk kecerdasan arsitektur kuno untuk kenyamanan para raja. Inilah kesimpulan saya pribadi saat berkunjung ke tempat ini pada awal tahun 2009.

OLEH UMMI FADIA

Kegemaranku terhadap film-film fiksi ilmiah dan sejarah kuno telah memberikan pengetahuan terhadap gaya bangunan istana di zaman dulu. Istana atau yang sering disebut oleh orang luar negeri kastil merupakan bangunan tua yang usianya mencapai ratusan tahun. Pengamatan saya yang didapatkan dari beberapa literatur yang pernah dibaca, ada kemiripan pada konsep bangunan di hampir seluruh istana di dunia. Dimana setiap bangunan istana selalu terdapat tembok yang mengelilingi kompleks istana atau sering disebut benteng. Kemiripan lainnya adalah istana selalu dikelilingi sungai pada bagian luar benteng.

Konsep bangunan seperti ini dalam pikiran saya pasti memiliki tujuan dan kesimpulan saya adalah agar orang luar istana terutama musuh hanya bisa melalui gerbang istana, karena di sekiling istana sudah dikepung sungai yang biasanya menjadi habitat buaya dan binatang buas lainnya. Satu-satunya pintu masuk adalah melalui pintu gerbang yang dijaga oleh prajurit istana. Para tamu kerajaan harus melewati jembatan sebelum masuk ke gerbang utama. Sistem pengamanan istana seperti itu dimaksudkan supaya tidak semua orang bisa masuk ke dalam kompleks kerajaan, dimana raja dan keluarga berada. Selain itu, konsep pengamanan tersebut bertujuan untuk mempersulit musuh yang akan menyarang kerajaan.

Konsep bangunan kerajaan inilah yang saya temukan saat berkunjung ke situs kuno Keraton Kaibon di kawasan Banten Lama, pada awal 2010. Di tempat ini saya menemukan reruntuhan bekas kamar raja yang berbentuk kolam besar, dimana airnya berasal dari aliran sungai di sekitar istana. Keraton Kaibon, menurut guide Mang Ubay, adalah tempat tinggal yang dikhususkan untuk ibu suri (ibunda sang raja-red).

Kenapa kamar raja ada genangan air seperti kolam,” tanya saya kepada Mang Ubay. Menurut Mang Ubay, air dari suangai sengaja dialirkan kebawah lantai kamar raja agar hawa panas bisa diminimalisir. Maklum, kawasan keratin berada di dekat pantai yang cukup panas. “Kalau jaman sekarang mah seperti AC,” kata Mang Ubay. Melihat fakta dan keterangan dari guide, saya mengambil kesimpulan bahwa arsitektur kuno pada jaman kerajaan dulu cukup mengaggumkan. “Sebuah arsitektur yang ramah lingkungan dan mesti menjadi inspirasi bagi kita. Subahanallah, maha suci Allah yang telah memberikan ilmu kepada manusia,” gumam saya setelah melihat bangunan Keraton Kaibon.

Sebetulnya, konsep bangunan istana yang dikelilingi oleh sungai sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw yaitu pada bulan Syawal sekira tahun kelima Hijriah. Ketika itu, Muhammad akan diserang oleh musuh saat berada di Kota Madinah. Mendengar kabar tersebut, Muhammad Saw pun menggelar rapat dengan para sahabat untuk menyusun siasat perang yang efektif dan memiliki potensi menang. Salah satu sahabat Rasulullah Saw bernama Salman Al-Farisi mengusulkan agar membuat parit melingkari Kota Madinah, yang kemudian usul ini diterima oleh Rasulullah Saw.

Inilah yang kemudian disebut perang khandaq dimana pasukan yang dimiliki Rasulullah Saw hanya berjumlah kurang lebih 3.000 orang sedangkan musuh mencapai 10.000 orang, jumlah yang jelas tidak seimbang. Namun dengan strategi parit inilah pasukan Rasulullah Saw mendapat kemenangan. Mengenai bagaiman metode membangun parit digambarkan oleh Dr.Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthy dalam buku Sirah Nabawiyah yang ia tulis.

Ternyata Rasulullah Saw dan para sahabat lebih dulu menggunakan konsep bangunan yang dilakukan para raja dalam membangun istana atau kerajaan.***

Di Bali, Kamar Hotel Kok Banjir?


Rombongan studi banding Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Serang tertawa ketika mendengar kamar hotel salah satu anggota kebanjira. “Kok bisa kamar hotel kebanjiran?” tanya salah satu staf kepada anggota Dewan karena penasaran.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA-BALI

Usai melakukan studi ke DPRD Kabupaten Badung, Provinsi Bali, rombongan termasuk saya langsung menuju ke Hotel Harris, sekira 200 meter dari Pantai Kuta. Waktu itu sekira pukul 20.00 WIB. Mungkin karena kelelahan, salah satu anggota Dewan (demi etika tidak perlu saya tulis namanya) bermaksud ingin berendam di kamar mandi. Dibukalah kran agar bak mandi terisi tapi sayangnya terlalu penuih, sehingga ketika badan orang tersebut masuk ke bak mandi maka air pun tumpah hingga air memuncrat sampai ke ruang tidur.

Ketika saya masuk ke kamar, kaget. Lah, kok kamar banjir nih,” kata Mansur, salah seorang rekan satu kamar menceritakan. Awalnya, dia tidak mengetahui penyebab kebanjiran berasal dari kamar mandi. Setelah rekannya selesai mandi barulah ia cerita bahwa tadi air di bak mandi terlalu penuh sehingga tumpah. “Seketika itu saya tertawa sendiri di dalam kamar,” kisah Mansur.

Kisah ini menjadi bumbu perjalanan saya saat mengikuti kegiatan para wakil rakyat ini. Dalam rombongan ada yang mencibir karena peristiwa itu dianggap memalukan. “Dusun bapak ini mah,” kata salah seorang staf sambil tertawa.

Di DPRD Kabupaten Badung, yang berada di Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung saya kagum karena seluruh gedung instansi pemerintah berlantai tiga dan menggunakan lift. “Ini kabupaten loh, bukan provinsi atau kota,” gumam saya ketika melihat kawasan tersebut.

Menurut keterangan pejabat yang menemui kami, pembangunan kawasan Puspemkab Badung berasal dari pinjaman Bank Bali kurang lebih 150 miliar. “Luasnya sekira 40 hektar yang menampung seluruh SKPD Se-Kabupaten Badung,” jelas salah satu pejabat kepada rombongan.

Karena tujuan rombongan adalah menggali informasi terkait kreativitas Pemkab Badung dalam menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor wisata, poin ini yang kemudian kita tanyakan secara spesifik kepada pejabat setempat. Dari penjelasan pejabat Badung, rombongan kaget karena PADnya menembus Rp 800 miliar sebanding dengan APBD Kabupaten Serang.

Pikir saya wajar wong banyak objek pariwisatanya, tapi ternyata PAD sebesar itu bukan dari penarikan pajak atau retribusi objek wisata melainkan hotel dan restoran. “Terus terang objek wisata kita minim, tapi kita pikirkan bagaimana caranya supaya wisatawan menginap di daerah Badung. Jadi, wisata silahkan kedaerah lain di Bali tapi menginap dan makan mesti kita tarik ke Badung,” kata salah satu pejabat.

Maka jangan heran kalau di Badung banyak sekali hotel dan restoran, terutama di sepanjang jalan di kawasan Pantai Kuta. Ketika saya keluar malam sekira pukul 24.00 WIB, suasana pinggiran Kuta masih ramai oleh wisatawan asing. Mereka ngobrol dan nongkrong di cafe dan restoran sambil menikmati suara deburan ombak. “Mungkin ini kali ya, kenapa para orang yang disangka teroris melakukan pengeboman,” kata saya dalam hati.

Jika ini yang dijadikan alasan saya kurang sependapat karena mereka juga manusia, yang membutuhkan sentuhan rokhani dari para juru kebenaran. “Islam itu kan ramhmatan lil alamin, bukan hanya untuk umat muslim sendiri,” kata Imam Syafii dalam autobiografinya.

Pagi harinya sekira pukul 06.00 WIB, disaat deburan ombak mulai terlihat jelas, matahari mulai bangun dari mimpinya. Saya dan beberapa anggota Dewan keliling kawasan Kuta dengan sepeda. Tujuan kami adalah lokasi pengeboman di museum Bom Bali I sekira 30 menit dari hotel dimana kami menginap.

Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [1]


Kemana nih dua anak itu, sudah 15 menit kok belum muncul juga,” gumam saya dengan perasaan kesal saat menunggu dua peserta tour keluarga yang ketinggalan.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA


Gelora semangat saya mendadak berubah seperti percikan api dari besi las yang sedang dicor sang tukang las. Lima belas menit sudah berlalu. Saya dan istri serta Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami menunggu di gerbang pintu masuk Komplek Perumahan Bumi Mutiara Serang (BSM) di Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani, sekira 3 kilometer dari rumah kami di Perumahan Banjarsari Permai, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten.


Jarum jam menunjukan angka 10.00 WIB, sengatan matahari mulai terasa di kepala dan keringat pun mulai mengucur dari pori-pori kulit. Kepulan asap hitam dari knalpot kendaraan yang melintas di samping kami bertiga menambah muram wajah lingkungan saat itu. Tampak dua petugas keamanan berseragam biru tua yang sedang berjaga memandangi kami bertiga.


Coba Mi di telepon si Ari, tanyain ada dimana gitu,” kata saya kepada istri yang juga menahan rasa kesal. Beberapa kali dihubungi, Ari, sepupu atau anak dari adik ibu mertua dan Surya, pengasuh Fadia, handphonenya tidak di angkat. Matahari terus merangkak naik tapi dua orang itu tak juga terlihat. Akhirnya kami pun memilih memutar arah untuk kembali ke rumah sambil menahan rasa kecewa karena rencana tour ke kawasan Banten Lama, di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, terancam akan berujung kegagalan.


Padahal ini kali pertama saya membawa Fadia ke kawasan yang sarat dengan situs sejarah Banten. Pada hari tertentu kawasan ini dipadati ratusan pengunjung yang ingin ziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin. Di kawasan ini terdapat Meriam Ki Amuk, Benteng Surosowan, Benteng Spelwijk, Masjid Agung Banten, Makam Sultan Hasanudin, Masjid Pecinan, Museum Kepurbakalaan Banten, Vihara dan menara, itulah penggalan sejarah yang ingin saya kenalkan kepada Fadia diusia dua tahun dua bulan.


Menurut Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) dalam Kompas, edisi 9 Juli 2010, sejarah adalah pijakan penting bagi setiap orang dalam menjalani hidup. Begitu pentingnya sejarah sehingga tanpa kenal sejarah, seseorang tak akan memiliki rasa cinta kepada bangsa dan negaranya. Meski di masa sekolah merupakan pelajaran yang membosankan karena penyampainnya tidak kreatif dan menjenuhkan. Namun, sesungguhnya saya menyukai sejarah karena sejarah merupakan guru kehidupan.


Nilai sejarah harus dikorelasikan dengan masa kekinian sehingga memiliki manfaat yang besar bagi kita. Namun sayang sejarah menjadi kurang menarik dan membosankan karena metode pengajaran yang keliru. Sejarah menjadi mata pelajaran yang kurang bernilai karena metode pengajaran ditekankan hanya pada aspek penghapalan bukan nilai-nilai sejarah itu sendiri. “Belajar sejarah tidak bisa cuma membaca. Harus ada pengalaman empirik dengan cara mengunjungi langsung ke lokasi. Saat mengunjungi Museum Bank Mandiri Jakarta, misalnya, jangan hanya sebatas informasi soal gedung tapi apa peran gedung tersebut pada masa VOC,” kata Kambali seperti dikutip Kompas.


Ditambahkan Reza M Syarief, penulis buku Life Of Exelent, selama ini otak kita hanya dijejali oleh hapalan-hapalan sejarah yang merupakan konsumsi otak kiri sedangkan otak kanan tidak difungsikan optimal. “Kita cuma disuruh menghapal kapan Pangeran Diponegoro lahir dan wafat, keturunannya siapa. Ini penting tapi ada yang jauh lebih penting yaitu bagaimana perjuangan Diponegoro merebut kemerdekaan. Nilai-nilai inilah yang semestinya ditanamkan kepada generasi sehingga otak kanan kita hidup jadi seimbang alias tidak miring,” kata Reza dalam sebuah acara di Gedung Sulfindo, Kota Cilegon, empat tahun silam.


Minggu (1/7) 2010, itulah hari perjalanan Fadia mengunjungi kawasan bersejarah di Banten Lama. Suasana saat itu terlihat ramai karena jalur Syekh Nawawi merupakan jalur alternatif menuju ke kawasan wisata pantai Anyer, Kabupaten Serang dan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang. Sepanjang perjalanan memutar arah saya tidak henti-hentinya menggerutu kepada Ari dan Surya karena telah mengancam tour ini gagal.


Selang beberapa menit, di saat motor kami sedang meluncur dengan kecepatan kurang lebih 60 kilometer perjam, tepatnya di tikungan setelah jembatan tol atau satu kilometer dari tempat saya menunggu. Suara klakson dari motor supra fit warna merah yang dikendari oleh pria berjaket hitam dan perempuan yang mengenakan jaket merah menyahut kami. “Umi,” teriak wanita tersebut sambil melambaikan tanganya kepada kami bertiga. Saya pun langsung mengurangi kecepatan untuk memastikan siapa orang itu kok seperti sudah akrab. “Itu kayanya Surya Bi, coba balik lagi aja,” kata istri.


Setelah tengok ke belakang, motor pun langsung berbalik arah dan benar juga ternyata dua orang itu adalah Ari dan Surya, orang yang nyaris membuat rencana tour batal. “Darimana saja, kok baru muncul. Kita mah sudah nungguin dari tadi sampai mau balik lagi ke rumah,” kata istri yang ingin mengetahui alasan kedua orang itu. Rupanya motor yang mereka pakai kehabisan bensin dan mencari bensin eceran susah. “Pas ada penjual bensin, eh kembaliannya susah karena uangnya Rp 100.000 sedangkan bensin yang dibeli cuma dua liter atau Rp 10.000. Yah, jadinya lama karena harus menunggu kembalian,” kata Surya. Tanpa diskusi panjang akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan ke Banten Lama. Ancaman gagal tour ke daerah ujung utara Kota Serang ini pun tidak terjadi.