Mewarisi Tradisi Peninggalan Belanda

Berjalan terburu-buru menggunakan topi dan membawa peralatan tangkap ikan. Pemandangan seperti ini terlihat saat ribuan warga yang berasal dari berbagai penjuru sekitar Bendung Pamarayan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, menghadiri tradisi tahunan peninggalan masa penjajahan Belanda yang dikenal dengan sebutan Bedol Pamarayan.


KARNOTO-SERANG-PROVINSI BANTEN

Penjajahan yang dilakukan oleh negara kincir angin, Belanda beberapa tahun silam. Tidak hanya menyisakan kepedihan ataupun trauma di hati rakyat Indonesia. Namun, ternyata menyisakan tradisi yang sampai saat ini masih terus dilakukan oleh masyarakat.

Salahsatunya tradisi bedol Pamarayan yang digelar setahun sekali. Kebiasaan yang digelar setiap tanggal sepuluh bulan sepuluh ini masih dilakukan oleh masyarakat sekitar bendung Pamarayan, Kabupaten Serang hingga kini.

Penyelenggaraan bedol Pamarayan tahun 2008 ini dilakukan sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya, karena dilakukan lebih maju dari waktu yang telah ditentukan karena dirangkaikan dengan peringatan HUT Kabupaten Serang Ke-482. Meski dimajukan beberapa hari dari jadwal tapi acara yang dihadiri ribuan warga ini, tergolong lebih ramai karena sejumlah pejabat Pemkab Serang turut hadir dalam kegiatan ini.

Sejarah bedol Pamarayan sendiri menurut Hudari, Kepala Unit Pelaksana Teknis Bendung Pamarayan, bermula pada masa penjajahan Belanda. “Pada masa Belanda, bedol Pamarayan diadakan untuk mencitrakan bahwa bendung ini adalah milik rakyat. Sehingga rakyat diminta untuk turut bertanggungjawab dengan memelihara bendung ini,” tutur Hudari.

Sebetulnya, kata Hudari, Bedol Pamarayan adalah pesta para petani saat memasuki musim tanam setelah menghadapi kemarau. “Waktu itu Belanda ingin menyatukan antara warga pribumi dengan pendatang supaya bersama-sama menjaga keberadaan bendung ini,” katanya.

Bendung Pamarayan sendiri direncanakan oleh Belanda sejak tahun 1901 dan baru dibuat pada tahun 1908. “Proyek bendung ini selesai dikerjakan pada tahun 1914 dan air mulai disalurkan pada tahun 1918,” kata Hudari.

Secara fungsi, bendung Pamarayan digunakan untuk mengairi area persawahan di Kabupaten/Kota Serang yang berjumlah 17.900 hektar untuk saluran induk bagian barat dan 4.660 hektar untuk saluran induk bagian timur. Jangkauannya meliputi beberapa kecamatan diantaranya Cikeusal, Kragilan, Ciruas, Pontang, Tirtayasa, Serang, Kasemen, Kramatwatu, Bojonegara, Pamarayan, Cikande dan Carenang.

Kini, di tahun 2008 bendung Pamarayan masih berdiri kokoh meskipun posisinya telah dipindahkan sekitar 200 meter dari lokasi bendung Pamarayan lama, yang saat ini menjadi benda cagar budaya (BCB). Tak hanya kokoh, tradisi bedol Pamarayan pun masih dilakukan meski sempat terhenti selama dua tahun.

Secara teknis, menurut Hudari, bedol Pamarayan adalah kegiatan untuk memeriksa mesin bendung yang berada di bawah air karena dikhawatirkan sudah ada besi yang tidak layak pakai. “Nah, untuk melihat kondisi besi yang berada di bawah air maka bendung harus dikeringkan terlebih dahulu,” katanya.

Proses pengeringan atau bedol Pamarayan inilah yang dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mencari ikan di area bendung. Seperti yang terlihat pada pesta petani ini pada Kamis (16/10). Ribuan warga memadati area bendung lengkap dengan perlatan tangkap ikan sederhana. Mulai dari jaring, karung, keranjang bambu sampai kain yang digunakan untuk tempat ikan.

Sekira pukul 08.00 WIB, warga sudah mulai berdatangan dari empat penjuru angin. Bahkan, warga yang berasal dari Kabupaten Lebak pun turut hadir pada acara yang dihadiri oleh Bupati Serang Taufik Nuriman. “Lumayan pak, kalau dapat ikan bisa dijual untuk keperluan keluarga,” kata Madsurah, warga asal Cikeusal yang mengaku sudah empat kali ikut dalam kegiatan ini.

Pukul 10.00 WIB ditengah terikan matahari, usai memberi sambutan, Taufik beserta rombongan pejabat menaiki bagian atas bendung yang tangganya sudah terlihat berkarat. Di bagian atas ini terdapat beberapa mesin gulungan yang digunakan untuk mengangkat pintu bendung.

Beberapa menit kemudian sirine berbunyi dan langsung disambut dengan gemuruh air yang selama ini tertahan. Air pun mengalir deras, beberapa jenis tanaman hanyut membentuk miniatur pulau. Sementara itu, warga yang sejak tadi pagi menunggu di pinggir bandung langsung turun dengan membawa alat tangkap ikan.

Ikan yang tidak sempat terbawa air pun terlihat loncat-loncat seperti sedang mabuk. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh warga untuk segera menangkap ikan tersebut. “Hasil ikannya nanti mau saya jual untuk keperluan keluarga. Biasanya sih dapat 5-10 kilogram,” ujar Khaerul, warga Pamarayan.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Serang M Yusuf mengatakan, tradisi bedol Pamarayan akan senantiasa dilestarikan sebagai salahsatu wisata budaya yang akan dipromosikan ke masyarakat luas. “Memang kita belum mendesaign promosinya tapi sudah kami rencanakan,” ujarnya. ****

1 Response to "Mewarisi Tradisi Peninggalan Belanda"

  1. Dien says:
    19 Oktober 2008 pukul 04.48

    Oooo nice post bro...
    Kok ga ada biawaknya ya... hehehe...
    mestinya nyangkut tuh...