Duh Nikmatnya Makan Udang & Soup Ikan


Duh… nikmatnya makan udang tepung goreng dan soup ikan. Gurih, renyah dan enak, ketiga rasa ini menyatu dengan gaya lesehan yang merupakan trend rumah makan saat ini.

Abu Hazimah Ayu Fadia-SERANG

Akhir Februari 2009, kami bertiga menyempatkan mampir di rumah makan soup ikan Taktakan. Sekitar pukul 13.00 WIB, usai shalat Dzuhur berjamaah bersama istri, kami ditemani Fadia anak pertama saya, mengunjungi rumah makan yang lokasinya tak jauh dari taman Kopassus, Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten.

Kami bertiga bersyukur karena saat tiba di lokasi saat pengunjung masih sepi sehingga menunggunya tidak terlalu lama. Meskipun jarak dari rumah kami ke rumah makan hanya ditempuh kurang lebih 15 menit. Namun, kalau harus menunggu terlalu lama rasanya sakit hati juga.

Jika dilihat dari design bangunannya, rumah makan yang berdekatan dengan Tol Serang Barat ini tidak jauh berbeda. Papan nama, beberapa jenis tanaman, ruang makan resmi dan lesehan termasuk musola, hampir bisa kita temui di rumah makan lainnya.

Saya sendiri awalnya tak menyangka kalau soup ikan di rumah makan ini cukup eksotis. Keringat bercucuran, segar, pedas, dan bergairah, itulah yang saya rasakan ketika makan soup ikan di rumah makan ini.

10 menit usai memencet bel, pelayan menghampiri kami seraya menyodorkan menu makanan yang tertera di lembar kertas printour warna. “Mau pesan apa pak,” kata pelayan wanita berkerudung.

Tanpa pikir panjang dan mengisi menu, saya langsung meminta soup ikan porsi untuk dua orang dan udang tepung goreng. Fadia yang selama perjalanan tidur akhirnya bangun dan seperti biasa tangganya langsung kreatif menyambar benda-benda yang ada di atas meja.

Tak lama kemudian, makanan pun datang dengan aroma yang menggiurkan seperti mengajak kita perang mulut. Upaya menghindari “kerusuhan” dari Fadia, saya diberi kesempatan untuk makan terlebih dahulu, sedangkan istri mengawasi Fadia yang sudah semakin agresif.

Aroma asap soup yang masih hangat dan kumpulan udang goreng, perutnya saya langsung mengajak bernyanyi keroncong. Tanpa pikir panjang soup ikan langsung saya santap dan semakin terasa nikmatnya. Lima belas menit kemudian, giliran istri yang makan sementara saya mengajak keliling rumah makan sambil melihat tanaman di sekitarnya.

Kini, makan sudah selesai dan kehangatan badan sudah terasa. Untuk kedua kalinya saya memencet bel, kali ini untuk keperluan membayar. “Semuanya Rp 90.000 pak,” kata pelayan yang langsung saya jawab dengan sodoran uang dua lembar Rp 50.000-an.

Disinilah kami berdua dibuat tertawa bercampur bangga, ketika melihat Fadia seperti enggan pergi dari tempat ini. Sambil makan udang tepung goreng, Fadia tampak menikmati dengan hati. Senyumanya yang lebar membuat dua buah giginya terlihat dan menambah gadis kecil yang lahir 20 April 2008 ini semakin lucu.

Kami berdua tertawa melihat tingkah Fadia kali ini. Udang yang menurut ukuran anak seusia Fadia besar, dilahap dengan penuh perasaan. “Duh gayanya anak Umi,” kata istri seraya tertawa bangga.

Mungkin kalau diterjemahkan dengan bahasa kita, Fadia akan mengatakan jangan pergi dulu udangnya belum habis nih. Selama kurang lebih 10 menit, aksi Fadia makan udang menjadi penghibur kami berdua. Usai cuci tangan akhirnya kami bertiga pun meninggalkan rumah makan ini dengan kepuasan yang sempurna. **


Dari Batik sampai Bakpia Pathok


Kagum dan bangga menyelinap di hati saya ketika melihat Kota Solo dan Jogjakarta. Betapa tidak, kota yang kecil tapi ternyata penataan kotanya rapi sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Tak heran, di dua kota ini banyak wisatawan asing dan domestik yang berkunjung.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Kamis (12/2) sekitar pukul 18.00 WIB, saya dan rombongan Pansus pemekaran desa DPRD Kabupaten Serang, tiba di bandara Adi Sucipto, Kota Solo, Jawa Tengah. Melihat kondisi Bandara waktu itu saya belum melihat keunikan Kota Solo yang sesungguhnya.

Di pintu keluar bandara yang kelihatan mungil, bus dari hotel yang akan menjadi tempat istirahat kami sudah menunggu. Sekitar 15 menit berada di bandara akhirnya rombongan bergerak menuju rumah makan pring sewu, sebelumnya akhirnya ke hotel.

Disinilah, saya mulai merasakan hawa dan pemandangan Kota Solo yang cukup mengaggumkan. Kreatifitas dan inovatif, sepertinya menjadi karakter warga Solo. Kesimpulan ini bisa dilihat dari pelayanan yang diberikan oleh rumah makan pring sewu, yang tak hanya menyediakan menu makanan tapi juga menghiasi area restoran dengan aneka permainan sulap.

Usai makan malam, kami langsung istirahat di Hotel Novotel di jalan Slamet Riyadi. Jalan ini merupakan jalan protokal yang berarti pusat ibukota Solo. Rasa penasaran saya tentang wajah malam Kota Solo tak tertahankan. Sekitar pukul 20.00 WIB, saya dan ajudan Ketua DPRD Kabupaten Serang berkeliling ke pusat-pusat keunikan Solo dengan menggunakan jasa tukang becak.

Keliling malam Kota Solo pun kita lakukan, dimulai dari keraton Solo, pasar klewer, kampung kauman dan pusat kuliner. Sayang, waktu itu pasar klewer dan kampung kauman sudah tutup. Padahal, di dua tempat inilah pusat penjualan batik khas Solo diobral. Menurut informasinya, kampung kauman adalah sebuah perkampungan yang hampir seluruh warganya masih mempertahankan tradisi batik.

Sedangkan pasar klewer adalah pusat penjualan batik yang konon harganya miring hingga 360 derajat celcius alias sangat murah. Sekitar pukul 23.00 WIB, usai keliling saya kembali ke hotel untuk istirahat setelah sebelumnya sempat mampir di pusat wisata kuliner.

Keesokan harinya, perjalanan hari kedua dalam kunjungan dilanjutkan ke Jogjakarta, Jumat (13/2) sekitar pukul 13.00 WIB. Perjalanan dari Kota Solo ke Jogjakarta, tepatnya di Hotel Ina Garuda, Malioboro, ditempuh sekitar 1,5 jam. Sepanjang perjalanan menuju ke Jogjakarta saya enggan memejamkan mata karena ingin melihat pemandangan alam Kota Gudeg ini.

Sekitar pukul 14.30 WIB saya dan rombongan pun tiba di hotel dan langsung chek in, setelah itu, istirahat sebentar dan dilanjutkan jalan-jalan menyusuri Kota Jogjakarta. Mulai dari jalan Malioboro, keraton Jogja, benteng vredeburg, museum hingga ke pabrik bakpia pathok.

Ketika itu, saya memilih menggunakan delman untuk berkeliling karena ongkosnya relative murah cukup Rp 15 ribu, kita sudah bisa keliling ke tempat-tempat keramaian Jogja hingga ke pabrik bakpia pathok, yang merupakan oleh-oleh makanan khas Jogja. Oleh pelayan saya diizinkan melihat proses pembuatan bakpia, kesempatan ini tak saya sia-siakan dengan mengambil foto dan membeli lima kotak bakpia.

Usai keliling, badan terasa letih dan saya pun langsung ke hotel untuk istirahat untuk persiapan pulang ke Kota Serang. Yah, meski cukup singkat perjalanan ini tapi Solo dan Jogja merupakan kota yang cukup mengaggumkan bagi saya. Kota yang kecil tapi penataanya rapi sehingga menarik wisatawan untuk berkunjung. Mudah-mudahan, suatu saat saya bisa datang ke kota ini lagi bersama keluarga. ***