Paras Ayu Waduk Malahayu

Otak yang semula mendidih akibat terbakar sengatan matahari menjadi dingin, pikiran pun kembali ngejreng saat dua bola mataku menatap hamparan air di waduk Malahayu. “Mmm…Malahayu, parasmu pancen ayu,” gumamku.

OLEH ABU FADIA

Rabu (8/9/2010) sekira pukul 13.00 WIB tepatnya dua hari menjelang Lebaran 1431 Hijriah, cuaca begitu panas membuat urat saraf otak meronta-ronta seolah ingin keluar dan berendam di kolam yang berisi air Zam-zam. Hiruk pikuk warga yang hendak prepegan (tradisi belanja di pasar dua hari menjelang Lebaran-red) menambah sengatan matahari makin terasa.

Belum lagi suara deru klakson dan knalpot dari bebek mesin asal Jepang. Rasanya ingin merontak dan berteriak karena tidak kuatnya menahan panas siang itu. Meski cuaca kurang bersahabat aku tetap melaju menarik gas motor merk vario warna merah milik adiku. “Kita syukuri aja, hujan juga berkah panas juga berkah bagi para pedagang es,” hibur saya dalam batin di tengah rasa putus asa yang menggelayut dalam pikiranku.

Perjalanan kali ini ditemani istri dan Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami yang lahir sehari sebelum peringatan Hari Kartini yaitu Sabtu, 20 April 2008 sekira pukul 03.00 dinihari. Waduk Malahayu yang berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, merupakan target tour wisata yang sudah aku incar sejak lama. “Pokoknya aku harus ke waduk Malahayu,” kataku pada istri saat hendak mudik.

Rasa keinginanku untuk bisa keliling Waduk pun tak terbendung. Aku pun langsung memanggil pria berkulit sawo matang pemilik perahu di kawasan tersebut untuk mengajak keliling Waduk, yang memiliki luas kurang lebih 944 hektare. “Berapa keliling waduk?” tanyku pada pemilik perahu. Setelah negoisasi beberapa saat akhirnya harga disepakati yaitu Rp 20.000 per kepala karena selain kami bertiga ada dua pengunjung lainnya yang memiliki niat sama.

Kami bertiga pun naik perahu yang panjangnya kurang lebih tujuh meter dengan warna cat dominan biru muda mirip warna telor asin, yang menjadi ciri khas Kota Brebes. Gumpalan awan hitam bergelantungan di langit mengepung bukit-bukit kecil di kawasan waduk Malahayu. Guratan pada kayu jati tua dan suara riak-riak air dari bawah perahu memperlihatkan nuansa alam yang begitu kental. “Mmm… parasmu sungguh ayu,” gumamku berkeliling dengan perahu tradisional.

Menurut data di Wikipedia, waduk Malahayu dibangun tahun 1930 oleh Kolonial Belanda. Lokasinya berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah atau sekira 45 menit dari Kecamatan Ketanggungan. Fungsi waduk sendiri disamping sebagai sarana irigasi lahan pertanian di wilayah Kecamatan Banjarharjo, Kersana, Ketanggungan, Losari, Tanjung dan Bulalakamba juga sebagai pengontrol banjir.

Perkembangan terakhir, waduk tersebut juga dimanfaatkan untuk tempat rekreasi dan perkemahan. Posisi waduk yang dikelilingi bukit dan hutan jati menjadikan tempat ini terlihat ayu. Warga sekitar Kota Brebes menjadikan tempat ini alternative rekreasi karena biaya tiket masuk yang murah hanya Rp 5.000 per motor atau Rp 10.000 untuk satu mobil.

Berbagai fasilitas tersedia di kompleks wisata ini antara lain kolam renang anak, mainan anak, becak air, perahu pesiar, perahu dayung, panggung terbuka serta disediakan tempat parkir yang cukup luas.

Sepanjang berkeliling waduk dengan perahu tua, kami bertiga menikmati nuansa alam yang eksotis dan ayu. Otot yang semula tegang menjadi lentur setelah memandangi bukit dan riak-riak air di waduk. Konon menurut mitos warga setempat, air waduk Malahayu memberikan manfaat untuk melanggengkan pasangan pengantin baru. Tak heran banyak pasangan pengantin baru membasuh mukanya dengan air waduk.

Dari tadi bicara waduk, makananya bagaimana?. Jangan-jangan tidak ada penjual makanan. Eit, sabat dulu. Anda tak perlu khawatir soal makanan karena meski hanya waduk tapi tak banyak penjual makanan di kawasan ini.

Di waduk ini, kita bisa menikmati renyahnya ikan mujair goring yang disediakan para pedagang. Menu ini adalah hidangan istimewa. Kemudahan mendapatkan makanan di tempat ini membuat sebagian kalangan memanfaatkan tempat ini untuk menggelar berbagai jenis lomba seperti balap perahu, lomba mancing, dan sebagainya. Puas menikmati nuansa alam waduk, anda yang hobi wisata kuliner bisa melanjutkan perjalanannya ke rumah makan Murni di Kecamatan Ketanggungan atau sekira 45 menit dari waduk.

Di rumah makan ini kita bisa menikmati lezatnya sate kambing muda, teh poci dengan pemanis gula batu dan sop. Lokasinya mudah dijangaku karena berada di jalur utama Brebes-Purwekerto. Tepatnya di samping Koramil Ketanggungan atau sekira 500 meter dari pintu Tol Pejagang, Kabupaten Brebes. Penasaran silahkan datang. Kenali negeri mu cintai negeri mu.

Oregano Banten, Nuansa Mah di Bali


Ada beberapa hal yang membuat orang mendatangi sebuah rumah makan. Pertama karena rasa makanan, suasananya dan terakhir pelayanannya.


Oleh Abu Fadia


Dari tiga alasan di atas tampaknya suasana rumah makan Oregano lebih menonjol daripada dua alasan lainnya. Rumah makan yang terletak di Jalan Bhayangkara, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten, ini menonjolkan nuansa Bali meski adanya di daerah yang terkenal jawaranya yaitu Banten. Pada dua sudut di pintu gerbang terdapat umbul-umbul, sedangkan pagar rumah makan memanfaatkan bambu-bambu kecil yang dirapatkan.


Suasana Bali makin terasa ketika kita masuk ke dalam rumah makan. Tampak beberapa saung bambu berdiri di kelilingi aneka tanaman membuat tempat ini teduh dan terasa di sebuah taman. Di tengah saung terdapat meja kayu warna cokelat sedangkan di tepi kayu terdapat bongkahan kayu cekung yang berisi beberapa majalah nasional terkenal. Saung inilah yang dipakai pengunjung untuk menikmati menu makanan dan aneka minuman. Mulai dari oregano sampai nasi goreng gila, dari jus mangga sampai alpukat bisa dipesan di rumah makan ini. Pemilik rumah makan sepertinya betul-betul tidak mau melepaskan unsur alam yang telah melekat di tempat ini. Inilah yang membuat pengunjung betah sehingga tak jarang makanan sudah habis tapi masih berbincang-bincang hingga berjam-jam.


Bagi saya, kunjungan ke rumah makan Oregano pada bulan Ramadan kali ini (Sabtu, 28/8/2010) merupakan kali ketiganya. Biasa ikut makan gratis dengan beberapa relasi dan rekan-rekan satu profesi. “Teh kok mirip di Bali sih,” tanya saya Yuni, salah satu pelayan rumah makan yang memakai seragam orange. Wanita yang mengaku asli Rangkasbitung, Provinsi Banten ini, menuturkan bahwa pemilik rumah makan Oregano memang asli dari Bali jadi gayanya juga mirip Bali. “Kan yang punya orang Bali, wajar kalau gayanya seperti Bali,” kata Yuni yang mengaku hanya mengingat nama bosnya yaitu Ida. “ooh, pantesan aja kok banyak miripnya dengan rumah makan di Bali,” gumam saya setelah mendengar keterangan dari pelayan. Untung saya pernah ke Bali meskipun hanya sekali tapi cukup menjadi bukti. Sambil menunggu sirine dari masjid terdekat sebagai pertanda buka puasa, saya dan rekan-rekan Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Harian Kabupaten Serang berbincang-bincang seputar isu terkini baik lokal maupun nasional.


Canda dan tawa menghiasi suasana buka puasa bersama di hari itu. Tertawa saat mendengarkan cerita lucu yang pernah dialami rekan ataupun orang lain. Sekira pukul 17.50 WIB, makanan ta’jil pun disodorkan di atas meja oleh pelayan. “Pak, pesan makanannya sekarang saja biar disiapkan jadi menunggunya tidak terlalu lama,” kata salah salah satu pelayan yang tampaknya khawatir jika kami hanya memesan minum. Yah, mungkin melihat tampang kami yang ketahuan bukan orang berduit padahal memang betul adanya. Tak lama kemudian terdengar sirine dari speaker salah satu masjid di dekat rumah makan, yang langsung diikuti kata Alhamdulillah. Menu takjil yang disediakan pemilik rumah makan hari itu adalah secangkir teh manis dan kolek. Srupp. Srup…ha, haus pun lenyap dengan empat sendok kolek dan seteguk teh manis. Usai menyantap takjil kami shalat bergiliran di salah sudut rumah makan yang berada di pojok utara.


Di tempat shalat dan kamar mandi saya kembali menemukan nuansa alam yang membuat jiwa tenang. Area yang dipakai shalat sengaja dibikin oleh sang pemilik tanpa skat apapun sehingga hembusan angin begitu terasa dan menambah kekhusukan shalat. Sementara itu, di bagian kamar mandi pun tak lepas dari penyatuan alam. Pada lantai kamar mandi mungil pemilik menggunakan batu-batu kecil sehingga kita merasa di tepian sungai di daerah pegunungan. Manja pengunjung tak berhenti di sini. Rumah makan yang hanya berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ini, pengunjung juga dimanjakan dengan jalan penghubung yang dilapisi batu-batu kecil. Area ini cocok bagi anda penderita rheumatik. Shalat Maghrib sudah dilakukan dan sekarang giliran menyantap oregano plus jus mangga. Nikmat benar, rasanya betul-betul ma nyos apalagi diselingi canda dan tawa tentang cerita-cerita lucu atau yang memotivasi.


Oregano dalam Wikipedia adalah jenis tanaman yang biasa di Mediterania dan Asia Tengah dan Selatan. Tanaman yang memiliki nama binomial origanum vulgare ini cocok digunakan untuk membuat makanan seperti pizza dan spaghetti. Tanaman ini memiliki panjang kurang lebih 20-80 centi meter. Kenikmatan oregano tidak mungkin dirasakan dalam tulisan tapi harus dirasakan sendiri oleh lidah kita. Dari tadi cerita enaknya, harganya bagaimana?, jangan-jangan mencikik leher nih. Meski tidak tahu persis berapa harga per item karena tidak tertera, tapi menurut informasi orang yang traktir kurang lebih Rp 500.000 untuk tujuh orang. Penasaran?, silahkan kunjungi sendiri. ***

Pulau Sanghyang, Indahnya Tak Terbayang

Deburan ombak, gulungan gelombang dan kicauan burung elang, menyambut siapapun yang datang ke Pulau Sanghyang. Mereka akan selalu memberikan salam penghormatan kepada pengunjung termasuk saat saya mendatangi lokasi yang indahnya tak terbayang sebelumnya.


OLEH KARNOTO


Pekan lalu, saya menyambangi pulau Sanghyang, sebuah kawasan wisata di Kabupaten Serang yang aksesnya hanya bisa menggunakan perahu. Kawasan ini memiliki luas kurang lebih 377 hektare yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu permukiman, tempat latihan perang TNI dan kawasan konvervasi. Di Sanghyang kita bisa melihat keindahan tebing tinggi yang artistik, pancaran laut biru yang jernih sehingga tembus pandang, suara deburan ombak, burung elang yang terbang dengan gagah meliuk-liuk di ata laut sambil berkicau, semua penghuni alam itu menyatu di pulau ini.

Merekalah yang menyambut dan menemani kita selama mengelilingi Pulau Sanghyang. Yah, mereka akan setiap menemani setiap pengunjung hingga bosan, berapa lamanya pun kita keliling mengitari tebing, laut dan elang akan setia menemani. Kepenatan selama di kota dengan beragam aktivitas lenyap ketika memasuki Sanghyang. Menyatunya karakter masing-masing penghuni alam mulai dari suara deburan ombak yang menghantam karang ataupun kicauan burung elang, membuat batin seperti sedang dicuci sehingga memutih kembali.

Noda hitam hati akibat kepenatan dan stress selama di kota sirna tersapu angin yang menghembus membawa air laut hingga membentuk karang dan menimbulan suara indah.

Byur…byur…byur, suara ombak saat menghantam karang seperti memberikan salam penghormatan kepada para tamu yang berkunjung ke Sanghyang. Keberadaan ombak, angin dan karang dengan segala isinya, tak hanya cukup dirasakan. Bagi pengunjung pun bisa bercengkrama dengan kehidupan di dalam laut mulai dari aneka jenis ikan, karang, ataupun bermain-main dengan gelombang. Di Sanghyang kita bisa berenang sambil melihat jenis ikan yang warna-warni karena jernihnya air laut membuat takjub mata karena tembus pandang.

Radar Banten yang turut serta berenang merasakan kenikmatan luar biasa. Tak hanya membersihkan badan tapi juga membersihkan batin karena kekaguman atas sang pencipta yang telah menjinakan alam di Sanghyang untuk kesenangan manusia.

Jika sudah merasa bosan bercengkrama dengan ombak ataupun karang, kita bisa kembali naik ke perahu untuk memulai aktivitas baru yang mengasyikan yaitu memancing. Meski hanya sekadar mencari kenikmatan tapi memancing bisa merenggangkan urat saraf karena aktivitas ini penuh keceriaan. Kondisi laut yang masih alami membuat ikan merasa betah tinggal di Sanghyang. Tak heran para nelayan selalu menuju tempat ini untuk mencari ikan termasuk beberapa wisatawan yang memiliki hobi memancing.

Sekira pukul 11.30 WIB, di saat matahari mulai memancarkan sinar panasnya, Radar Banten dan rombongan menuju ke dermaga sederhana yang dibuat nelayan untuk meneruksan perjalanan menuju ke dalam kawasan Sahngyang.

Di dalam kawasan kita akan menemukan aneka jenis tumbuhan,mulai dari rotan, jati ataupun pohon kelapan. Ada sekira 40 kepala keluarga (KK) yang tinggal di kawasan ini sehingga kita tidak perlu khawatir soal makanan, karena ada penduduk yang berjualan meski tidak sekomplit di perkotaan.

Memasuki kawasan kita bisa belajar cara membuat kopra kelapa kepada warga setempat. Kopra inilah yang menjadi andalan warga untuk mendapatkan uang. Tak hanya rumah penduduk, musala mungil pun tersedia di dalam kawasan lengkap dengan sarana wudlunya. Jadi bagi anda yang baru kali pertama datang ke Sanghyang tak perlu khawatir akan kelaparan.

Berakhirkah kenikmatan kita sampai di dalam kawasan?. Masih ada satu tempat lagi yang bisa kita jamah di Sanghyang yaitu pantai Sepanjang. Lokasinya hanya sekira 500 meter dari permukiman penduduk dan bisa ditempuk dengan perjalanan kaki.

Menurut informasi dari warga setempat, pantai sepanjang pernah dijadikan lokasi syuting Tamara Blezzenky dalam film terbarunya. “Lah ini dua genset pernah disewa syuting Tamara,” kata salah satu warga. Pantai berpasir putih ini cukup eksotis karena masih alami. Pada dua bagian lekukan di ujung kanan dan kiri terdapat tebing tinggi yang kokoh mirip pantai di Bali. Kawasan Sanghyang terbagi menjadi tiga bagian yaitu permukiman, latihan militer dan konvervasi.

****

Perjalanan Menuju ke Sanghyang

Untuk menuju Pulau Sanghyang hanya bisa dilakukan dengan sarana transportasi perahu. Pada pekan kemarin, Radar Banten bersama rombongan menggunan dermaga Sanghyang Resort dan SPA di Desa Cikoneng. Bagi pengunjung Kota Serang, Cilegon, Pandeglang dan Lebak bisa langsung ke dermaga atau menghubungi langsung nelayan yang biasa mengantarkan pengunjung.

Sementara untuk pengunjung dari luar Banten, seperti Jakarta dan sekitarnya. Arahkan kendaraan ke kawasan pantai Anyer dan masuklah ke Sanghyang Resosrt and SPA di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer atau sekira 500 meter dari pasar Anyer. Di sinilah terdapat dermaga dan beberapa perahu yang biasa digunakan untuk mengunjungi Sanghyang.

Berapa harga sewa perahunya?, pasti mahal kan ke pulau?. Untuk masalah harga para pemilik perahu biasanya menjadikan kunjungan ke Sanghyang dalam satu paket dengan harga Rp 3,5 juta paket satu hari, terdiri biaya sewa sehari, makan dua kali di pinggir laut dengan menu bakar ikan, sambal tomat dan lalaban.

Untuk satu perahi mampu menampung kurang lebih 20 orang dengan pendamping dari nelayan 6 orang. Nelayan inilah yang akan mendampingi kita selama perjalanan termasuk memberikan informasi sekilas tentang kondisi Sanghyang. Mereka pula yang akan mencari ikan untuk menu makan siang dan sore hari termasuk mengajari berenang.

Perjalanan dari dergama menuju ke Sanghyang kurang lebih satu jam, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi pinggiran Sanghyang kurang lebih 1,5 jam. Tak puas dengan pinggiran Sanghyang, kita bisa masuk ke dalam area Sanghyang dan bisa berbincang-bincang dengan warga setempat.

Oleh-oleh Sanghyang

Karena tempatnya berada di tengah laut maka tidak ada oleh-oleh yang biasa dibawa selain hasil laut. Ikan segar dengan aneka jenis, bentuk dan warna, tempurung keong, itulah oleh-oleh yang bisa kita dapatkan dari Sanghyang. Namun tak perlu khawatir karena di kawasan Anyer kita bisa mendapatkan oleh-oleh yang masih bercirikan dengan laut.

Ngresep Teh Pocinya, Ma Nyos Satenya


Mi tolong dong buatkan teh poci,” pinta saya kepada istri setiap pagi dan sore. Ngeteh dengan peralatan poci berbahan tanah liat dan gula batu bukan saja menghangatkan badan tapi membuat saya selalu merasa tinggal di tanah kelahiran.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Moci di daerah kelahiran saya yaitu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dikenal dengan istilah moci. “Moci, ei, moci, iuran juga tidak apa-apa kok,” kata Toto, salah satu teman permainan saya sekira tahun 1992. Hampir setiap haris aktivitas moci dilakukan dan biasanya mulai ngumpul-ngumpul antar pukul 20.00 WIB hingga 23.00 WIB.

Moci adalah kebiasaan orang di tanah kelahiranku yang suka minum teh seduh dalam poci yang terbuat dari gerabah ukuran kecil. Sebelum dituangkan ke dalam cangkir kecil, poci diisi air panas dan teh yang rasanya khas. Setelah air sudah pekat maka dituangkan ke dalam cangkir yang sudah diberi gula batu. Ngresep dan kesegaran tubuh itulah yang akan kita dapatkan setelah moci.

Selain untuk sarana berdiskusi atau ngobrol, moci bagi sebagian besar masyarakat Brebes juga dijadikan peluang bisnis dengan mendirikan kedai atau rumah makan. Di Rumah Makan “Murni” misalnya, selain menjual sate kambing muda, pemilik yang juga mertua saya menyediakan teh poci. Rumah makan ini berada di pertigaan Desa Pejagan, Kecamatan Tanjung. Tepatnya, 20 meter dari pos jaga polisi Pejagan pada belokan jalan yang ke arah Purwekerto, Jawa Tengah.

Melihat peluang yang besar setelah ada pembangunan Tol Pejagan sekira tahun 2009, pemilik pun membuat cabang baru di Desa Ketanggungan, Kecamatan Ketanggungan, persis di samping Markas Koramil Ketanggungan atau sekira 200 meter dari pintu Tol Pejagan. Pengamatan saya, hampir dipastikan rumah makan di daerah pantai utara (Pantura) ini menyediakan moci dengan harga sekira Rp 6.000 per porsi. Bagi yang memiliki uang cukup maka moci akan dipadukan dengan makanan sate kambing muda. Ngresep dan ma nyos, itulah perpaduan dua rasa yang akan kita rasakan ketika moci dan makan sate kambing muda secara bersamaan.

Menurut Pande Made Kutanegara, Antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekira abad ke-17, wilayah pantura sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China. “Pada masa lalu, daerah pantura merupakan jalur perdagangan yang ramai,” kata Pande seperti yang dikutip Kompas, edisi Minggu (18/7). Pasca lulus SLTA tahun 1999 dan merantau ke Kota Serang, Provinsi Banten, kebiasaan moci sempat terhenti beberapa tahun. Selain terbawa arus kesibukan dunia kampus juga sulitnya mencari barang dan bahan untuk moci. Kebiasaan moci mulai “kambuh” lagi di tahun 2003, dimana momen ini adalah tahun pernikahan saya dengan seorang wanita asal Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang sudah enam tahun tinggal di Kota Solo.

Sejak saat itu saya kembali menikmati ngresepnya moci sampai sekarang. Apalagi, mertua memiliki rumah makan yang menyediakan moci selain sate kambing. Bahkan untuk mempertahankan kebiasaan mocil saya pun membawa bahan-bahannya langsung dari Brebes. Kebiasaan moci biasa saya lakukan setiap pagi sekira pukul 06.30 WIB sebelum berangkat kerja dan pukul 20.00 WIB, usai pulang kerja.

Kini, seiring perkembangan gaya hidup masyarakat Indonesia. Budaya minum teh di kota-kota besar seperti Jakarta sudah menjadi peluang bisnis bagi sebagian masyarakat. Minuman yang dulu dianggap “zadul” ini kini dikemas dengan citra yang lebih modern. “Ada kenikmatan gaya hidup di dalamnya,” tulis wartawan Kompas, Lusiana Indrisari dan Yulia Sapthiani, edisi Minggu (18/7/2010).

Dengan moci persahabatan orang mulai merekat dan tumbuh alamiah. Citra rasa pada pekatnya teh dan manisnya gula batu yang khas menambah kebugaran tubuh dan semangat pun tumbuh. Sejak kebiasaan moci kembali muncul, saya selalu menyajikan poci kepada teman-teman dan para tamu yang berkunjung ke rumah. “Sekalian mengenalkan tradisi daerah dan promosi rumah makan milik mertua,” kata saya dalam hati. ****

Konsep Istana, Arsiteknya Rasulullah Saw


Sungai di luar benteng Keraton Kaibon, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, tak sekadar memegang fungsi keamanan tapi bentuk kecerdasan arsitektur kuno untuk kenyamanan para raja. Inilah kesimpulan saya pribadi saat berkunjung ke tempat ini pada awal tahun 2009.

OLEH UMMI FADIA

Kegemaranku terhadap film-film fiksi ilmiah dan sejarah kuno telah memberikan pengetahuan terhadap gaya bangunan istana di zaman dulu. Istana atau yang sering disebut oleh orang luar negeri kastil merupakan bangunan tua yang usianya mencapai ratusan tahun. Pengamatan saya yang didapatkan dari beberapa literatur yang pernah dibaca, ada kemiripan pada konsep bangunan di hampir seluruh istana di dunia. Dimana setiap bangunan istana selalu terdapat tembok yang mengelilingi kompleks istana atau sering disebut benteng. Kemiripan lainnya adalah istana selalu dikelilingi sungai pada bagian luar benteng.

Konsep bangunan seperti ini dalam pikiran saya pasti memiliki tujuan dan kesimpulan saya adalah agar orang luar istana terutama musuh hanya bisa melalui gerbang istana, karena di sekiling istana sudah dikepung sungai yang biasanya menjadi habitat buaya dan binatang buas lainnya. Satu-satunya pintu masuk adalah melalui pintu gerbang yang dijaga oleh prajurit istana. Para tamu kerajaan harus melewati jembatan sebelum masuk ke gerbang utama. Sistem pengamanan istana seperti itu dimaksudkan supaya tidak semua orang bisa masuk ke dalam kompleks kerajaan, dimana raja dan keluarga berada. Selain itu, konsep pengamanan tersebut bertujuan untuk mempersulit musuh yang akan menyarang kerajaan.

Konsep bangunan kerajaan inilah yang saya temukan saat berkunjung ke situs kuno Keraton Kaibon di kawasan Banten Lama, pada awal 2010. Di tempat ini saya menemukan reruntuhan bekas kamar raja yang berbentuk kolam besar, dimana airnya berasal dari aliran sungai di sekitar istana. Keraton Kaibon, menurut guide Mang Ubay, adalah tempat tinggal yang dikhususkan untuk ibu suri (ibunda sang raja-red).

Kenapa kamar raja ada genangan air seperti kolam,” tanya saya kepada Mang Ubay. Menurut Mang Ubay, air dari suangai sengaja dialirkan kebawah lantai kamar raja agar hawa panas bisa diminimalisir. Maklum, kawasan keratin berada di dekat pantai yang cukup panas. “Kalau jaman sekarang mah seperti AC,” kata Mang Ubay. Melihat fakta dan keterangan dari guide, saya mengambil kesimpulan bahwa arsitektur kuno pada jaman kerajaan dulu cukup mengaggumkan. “Sebuah arsitektur yang ramah lingkungan dan mesti menjadi inspirasi bagi kita. Subahanallah, maha suci Allah yang telah memberikan ilmu kepada manusia,” gumam saya setelah melihat bangunan Keraton Kaibon.

Sebetulnya, konsep bangunan istana yang dikelilingi oleh sungai sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw yaitu pada bulan Syawal sekira tahun kelima Hijriah. Ketika itu, Muhammad akan diserang oleh musuh saat berada di Kota Madinah. Mendengar kabar tersebut, Muhammad Saw pun menggelar rapat dengan para sahabat untuk menyusun siasat perang yang efektif dan memiliki potensi menang. Salah satu sahabat Rasulullah Saw bernama Salman Al-Farisi mengusulkan agar membuat parit melingkari Kota Madinah, yang kemudian usul ini diterima oleh Rasulullah Saw.

Inilah yang kemudian disebut perang khandaq dimana pasukan yang dimiliki Rasulullah Saw hanya berjumlah kurang lebih 3.000 orang sedangkan musuh mencapai 10.000 orang, jumlah yang jelas tidak seimbang. Namun dengan strategi parit inilah pasukan Rasulullah Saw mendapat kemenangan. Mengenai bagaiman metode membangun parit digambarkan oleh Dr.Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthy dalam buku Sirah Nabawiyah yang ia tulis.

Ternyata Rasulullah Saw dan para sahabat lebih dulu menggunakan konsep bangunan yang dilakukan para raja dalam membangun istana atau kerajaan.***

Di Bali, Kamar Hotel Kok Banjir?


Rombongan studi banding Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Serang tertawa ketika mendengar kamar hotel salah satu anggota kebanjira. “Kok bisa kamar hotel kebanjiran?” tanya salah satu staf kepada anggota Dewan karena penasaran.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA-BALI

Usai melakukan studi ke DPRD Kabupaten Badung, Provinsi Bali, rombongan termasuk saya langsung menuju ke Hotel Harris, sekira 200 meter dari Pantai Kuta. Waktu itu sekira pukul 20.00 WIB. Mungkin karena kelelahan, salah satu anggota Dewan (demi etika tidak perlu saya tulis namanya) bermaksud ingin berendam di kamar mandi. Dibukalah kran agar bak mandi terisi tapi sayangnya terlalu penuih, sehingga ketika badan orang tersebut masuk ke bak mandi maka air pun tumpah hingga air memuncrat sampai ke ruang tidur.

Ketika saya masuk ke kamar, kaget. Lah, kok kamar banjir nih,” kata Mansur, salah seorang rekan satu kamar menceritakan. Awalnya, dia tidak mengetahui penyebab kebanjiran berasal dari kamar mandi. Setelah rekannya selesai mandi barulah ia cerita bahwa tadi air di bak mandi terlalu penuh sehingga tumpah. “Seketika itu saya tertawa sendiri di dalam kamar,” kisah Mansur.

Kisah ini menjadi bumbu perjalanan saya saat mengikuti kegiatan para wakil rakyat ini. Dalam rombongan ada yang mencibir karena peristiwa itu dianggap memalukan. “Dusun bapak ini mah,” kata salah seorang staf sambil tertawa.

Di DPRD Kabupaten Badung, yang berada di Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung saya kagum karena seluruh gedung instansi pemerintah berlantai tiga dan menggunakan lift. “Ini kabupaten loh, bukan provinsi atau kota,” gumam saya ketika melihat kawasan tersebut.

Menurut keterangan pejabat yang menemui kami, pembangunan kawasan Puspemkab Badung berasal dari pinjaman Bank Bali kurang lebih 150 miliar. “Luasnya sekira 40 hektar yang menampung seluruh SKPD Se-Kabupaten Badung,” jelas salah satu pejabat kepada rombongan.

Karena tujuan rombongan adalah menggali informasi terkait kreativitas Pemkab Badung dalam menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor wisata, poin ini yang kemudian kita tanyakan secara spesifik kepada pejabat setempat. Dari penjelasan pejabat Badung, rombongan kaget karena PADnya menembus Rp 800 miliar sebanding dengan APBD Kabupaten Serang.

Pikir saya wajar wong banyak objek pariwisatanya, tapi ternyata PAD sebesar itu bukan dari penarikan pajak atau retribusi objek wisata melainkan hotel dan restoran. “Terus terang objek wisata kita minim, tapi kita pikirkan bagaimana caranya supaya wisatawan menginap di daerah Badung. Jadi, wisata silahkan kedaerah lain di Bali tapi menginap dan makan mesti kita tarik ke Badung,” kata salah satu pejabat.

Maka jangan heran kalau di Badung banyak sekali hotel dan restoran, terutama di sepanjang jalan di kawasan Pantai Kuta. Ketika saya keluar malam sekira pukul 24.00 WIB, suasana pinggiran Kuta masih ramai oleh wisatawan asing. Mereka ngobrol dan nongkrong di cafe dan restoran sambil menikmati suara deburan ombak. “Mungkin ini kali ya, kenapa para orang yang disangka teroris melakukan pengeboman,” kata saya dalam hati.

Jika ini yang dijadikan alasan saya kurang sependapat karena mereka juga manusia, yang membutuhkan sentuhan rokhani dari para juru kebenaran. “Islam itu kan ramhmatan lil alamin, bukan hanya untuk umat muslim sendiri,” kata Imam Syafii dalam autobiografinya.

Pagi harinya sekira pukul 06.00 WIB, disaat deburan ombak mulai terlihat jelas, matahari mulai bangun dari mimpinya. Saya dan beberapa anggota Dewan keliling kawasan Kuta dengan sepeda. Tujuan kami adalah lokasi pengeboman di museum Bom Bali I sekira 30 menit dari hotel dimana kami menginap.

Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [1]


Kemana nih dua anak itu, sudah 15 menit kok belum muncul juga,” gumam saya dengan perasaan kesal saat menunggu dua peserta tour keluarga yang ketinggalan.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA


Gelora semangat saya mendadak berubah seperti percikan api dari besi las yang sedang dicor sang tukang las. Lima belas menit sudah berlalu. Saya dan istri serta Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami menunggu di gerbang pintu masuk Komplek Perumahan Bumi Mutiara Serang (BSM) di Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani, sekira 3 kilometer dari rumah kami di Perumahan Banjarsari Permai, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten.


Jarum jam menunjukan angka 10.00 WIB, sengatan matahari mulai terasa di kepala dan keringat pun mulai mengucur dari pori-pori kulit. Kepulan asap hitam dari knalpot kendaraan yang melintas di samping kami bertiga menambah muram wajah lingkungan saat itu. Tampak dua petugas keamanan berseragam biru tua yang sedang berjaga memandangi kami bertiga.


Coba Mi di telepon si Ari, tanyain ada dimana gitu,” kata saya kepada istri yang juga menahan rasa kesal. Beberapa kali dihubungi, Ari, sepupu atau anak dari adik ibu mertua dan Surya, pengasuh Fadia, handphonenya tidak di angkat. Matahari terus merangkak naik tapi dua orang itu tak juga terlihat. Akhirnya kami pun memilih memutar arah untuk kembali ke rumah sambil menahan rasa kecewa karena rencana tour ke kawasan Banten Lama, di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, terancam akan berujung kegagalan.


Padahal ini kali pertama saya membawa Fadia ke kawasan yang sarat dengan situs sejarah Banten. Pada hari tertentu kawasan ini dipadati ratusan pengunjung yang ingin ziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin. Di kawasan ini terdapat Meriam Ki Amuk, Benteng Surosowan, Benteng Spelwijk, Masjid Agung Banten, Makam Sultan Hasanudin, Masjid Pecinan, Museum Kepurbakalaan Banten, Vihara dan menara, itulah penggalan sejarah yang ingin saya kenalkan kepada Fadia diusia dua tahun dua bulan.


Menurut Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) dalam Kompas, edisi 9 Juli 2010, sejarah adalah pijakan penting bagi setiap orang dalam menjalani hidup. Begitu pentingnya sejarah sehingga tanpa kenal sejarah, seseorang tak akan memiliki rasa cinta kepada bangsa dan negaranya. Meski di masa sekolah merupakan pelajaran yang membosankan karena penyampainnya tidak kreatif dan menjenuhkan. Namun, sesungguhnya saya menyukai sejarah karena sejarah merupakan guru kehidupan.


Nilai sejarah harus dikorelasikan dengan masa kekinian sehingga memiliki manfaat yang besar bagi kita. Namun sayang sejarah menjadi kurang menarik dan membosankan karena metode pengajaran yang keliru. Sejarah menjadi mata pelajaran yang kurang bernilai karena metode pengajaran ditekankan hanya pada aspek penghapalan bukan nilai-nilai sejarah itu sendiri. “Belajar sejarah tidak bisa cuma membaca. Harus ada pengalaman empirik dengan cara mengunjungi langsung ke lokasi. Saat mengunjungi Museum Bank Mandiri Jakarta, misalnya, jangan hanya sebatas informasi soal gedung tapi apa peran gedung tersebut pada masa VOC,” kata Kambali seperti dikutip Kompas.


Ditambahkan Reza M Syarief, penulis buku Life Of Exelent, selama ini otak kita hanya dijejali oleh hapalan-hapalan sejarah yang merupakan konsumsi otak kiri sedangkan otak kanan tidak difungsikan optimal. “Kita cuma disuruh menghapal kapan Pangeran Diponegoro lahir dan wafat, keturunannya siapa. Ini penting tapi ada yang jauh lebih penting yaitu bagaimana perjuangan Diponegoro merebut kemerdekaan. Nilai-nilai inilah yang semestinya ditanamkan kepada generasi sehingga otak kanan kita hidup jadi seimbang alias tidak miring,” kata Reza dalam sebuah acara di Gedung Sulfindo, Kota Cilegon, empat tahun silam.


Minggu (1/7) 2010, itulah hari perjalanan Fadia mengunjungi kawasan bersejarah di Banten Lama. Suasana saat itu terlihat ramai karena jalur Syekh Nawawi merupakan jalur alternatif menuju ke kawasan wisata pantai Anyer, Kabupaten Serang dan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang. Sepanjang perjalanan memutar arah saya tidak henti-hentinya menggerutu kepada Ari dan Surya karena telah mengancam tour ini gagal.


Selang beberapa menit, di saat motor kami sedang meluncur dengan kecepatan kurang lebih 60 kilometer perjam, tepatnya di tikungan setelah jembatan tol atau satu kilometer dari tempat saya menunggu. Suara klakson dari motor supra fit warna merah yang dikendari oleh pria berjaket hitam dan perempuan yang mengenakan jaket merah menyahut kami. “Umi,” teriak wanita tersebut sambil melambaikan tanganya kepada kami bertiga. Saya pun langsung mengurangi kecepatan untuk memastikan siapa orang itu kok seperti sudah akrab. “Itu kayanya Surya Bi, coba balik lagi aja,” kata istri.


Setelah tengok ke belakang, motor pun langsung berbalik arah dan benar juga ternyata dua orang itu adalah Ari dan Surya, orang yang nyaris membuat rencana tour batal. “Darimana saja, kok baru muncul. Kita mah sudah nungguin dari tadi sampai mau balik lagi ke rumah,” kata istri yang ingin mengetahui alasan kedua orang itu. Rupanya motor yang mereka pakai kehabisan bensin dan mencari bensin eceran susah. “Pas ada penjual bensin, eh kembaliannya susah karena uangnya Rp 100.000 sedangkan bensin yang dibeli cuma dua liter atau Rp 10.000. Yah, jadinya lama karena harus menunggu kembalian,” kata Surya. Tanpa diskusi panjang akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan ke Banten Lama. Ancaman gagal tour ke daerah ujung utara Kota Serang ini pun tidak terjadi.

Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [2]


Mi, itu kakak pakai seragam sekolah kaya Dede Dia,” kata Fadia saat melihat sekelompok anak-anak sekolah dasar yang sedang melakukan kunjungan ke Museum Keperbukalaan di Banten Lama.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA

Fadia terlihat menikmati kunjungan kali ini. Bahkan, anak kelahiran 20 April 2008 ini tampak riang saat melihat sekelompok anak-anak yang memakai seragam warna hijau, mirip seragamnya dia di sekolah Az-Zahra di komplek perumahan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit dari rumah, akhirnya kami berlima sampai di kawasan Banten Lama yang menjadi tujuan. Perjalanan dari rumah menuju Banten Lama hanya melewati empat belokan dan dua jembatan.

Namun bagi anda yang berasal dari Jakarta maka harus melewati pintu tol Serang Timur dan langsung bisa belok kiri. Yah sekira 30 menit sudah sampai di Banten Lama. Sepanjang perjalanan saya menerangkan beberapa lokasi sejarah kepada istri, seperti guide wisata yang sedang menemani rombongan wisatawan. “Itu sebelah kanan jalan makam Maulana Yusuf Banten,” kata saya sambil menunjuk kea rah gapura di sebelah kanan saya kepada istri.

Sementara itu, Ari dan Surya mengikuti kami di belakang tanpa tahu apa yang mereka bayangkan tentang kawasan Banten Lama. Maklum, mereka tergolong baru di Banten. Surya baru enam bulan sedangkan Ari baru satu bulan. Jarak sekira 300 meter dari Museum Kepurbakalaan tampak beberapa warga berdiri dipertigaan pintu masuk kawasan Banten Lama.

Merekalah yang mengatur masalah parkir kendaraan para pengunjung di kawasan tersebut. Sebelumnya, saya sempat menuturkan kepada istri agar mengaku akan silaturahmi ke salah satu teman yang rumahnya di belakang Masjid Agung Banten. “Maksudnya mah biar ga ditarik karcis parkir,” kata saya kepada istri sambil tertawa.

Senjata ini ternyata tidak berguna karena tanpa ditanya alasan apapun kami lolos, ternyata untuk kendaraan motor plat A tidak ditarik parkir rumangsa orang sendiri. Tampak puluhan kendaraan bus memenuhi area parkir kawasan tersebut meski masih terlihat sumpek, karena pedagang masih ada yang berjualan sembarangan. Kesan kumuh dan kurang nyaman masih saja terlihat meski agak berkurang jika dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika saya masih ditugaskan liputan di Kota Serang.

Lokasi yang kali pertama kami kunjungi adalah Museum Kepurbakalaan Banten Lama. Di tempat ini terdapat benda-benda peninggalan sejarah masa lalu Kesultanan Banten, seperti keramik, mata uang Banten, Meriam Ki Amuk, batu nisan kuburan Sukalila dan miniatur rumah suku pedalaman Baduy. Sebagian besar barang-barang bersejarah itu berada di balik kaca agar terhindar dari tangan-tangan jahil. Museum ini berada di depan masjid Agung Banten, tepatnya di depan benteng Surosowan. Tempat ini sering dikunjungi siswa sekolah dasar.

Sayang di museum ini tidak ada brosur yang bisa menerangkan tentang isi museum. Biaya masuk ke museum cuma Rp 1.000 untuk satu orang. Jejak Meriam Ki Amuk menurut buku berjudul Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII karangan Claude Guillot, terdapat pada plant Kota Banten yang dibuat sebelum pertengahan abad ke-17 dan kini tersimpan di Perpustakaan Castello di Firenze, Itali.

Masih menurut buku yang sama, meriam Ki Amuk ini sama dengan meriam Ki Jimat, sebuah hadiah dari Sultan Demak, Jawa Tengah, saat pernikahan Sultan Hasanudin yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528 SM. “Berarti dulu kawasan ini (Banten Lama-red) dulunya merupakan pusat perkotaan Banten sekaligus perekonomian . Tuh kayanya dulu di gapura itu banyak penjaga istana,” kata istri kepada saya sambil menunjuk ke salah satu gapura.

Konon, kerajaan Banten merupakan wilayah yang tidak tersentuh oleh penjajah Belanda karena saking kuatnya Sultan Hasanudin. Kehidupan ekonomi warganya makmur dan hubungan antar umat beragama berjalan baik. Terbukti, berdiri kokoh di sekitar istana sebuah vihara yang tergolong tua. Sampai sekarang vihara tersebut masih berdiri kokoh berhadapan dengan benteng Spelwijk.

Surga Wisata Seribu Warna

Suasana sore (16/8/2006) itu begitu cerah. Tak ada pemandangan yang luar biasa sepanjang perjalanan Serang hingga Saketi, Pandeglang. Namun, mulai dari Saketi hingga Malingping, dalam suasana yang mulai gelap, terlihat di kiri kanan jalan tumpukan kayu-kayu hutan siap angkut. Begitupun dengan lalu lalang kendaraan yang mulai didominasi truk-truk pengangkut kayu dengan laju begitu kencang. Sesekali sedan yang kami kendarai terpaksa minggir untuk menghindari kemungkinan tabrakan.

MALAM mulai merambat naik, tapi suasana pesta 17-an belum juga terasa. Nyaris tak ada keramaian di sepanjang jalan, kecuali rumah-rumah penduduk yang di depannya terpasang bendera merah putih. Suasana berubah ramai begitu kami memasuki Kecamatan Panggarangan.

Keramaian itu terpusat di depan Kantor Polsek Panggarangan. Rupanya ada lomba karoke dangdut yang diikuti anak-anak hingga remaja. Tentu, suasana ini sayang jika dilewati. Arif Kirdiat dari Optima Travel yang menjadi driver memutuskan berhenti sejenak untuk menyaksikan langsung kemeriahan malam pesta 17-an itu.

Saat itu tiga orang gadis kecil tengah tampil di atas panggung. Yang satu asyik menyanyikan sebuah lagu, sedangkan dua lagi berjoget meliuk-liuk bagaikan Inul Daratista yang tengah bergoyang ngebor. "Wah, ternyata di sini pun ada Inul ya," ungkap Arif sambil geleng-geleng kepala melihat kepiawaian ketiga gadis mungil itu meliuk-liuk mengikuti irama lagu dan musik dangdut.

Para penonton yang lumayan berjubel tak henti-hentinya bertepuk tangan memberi semangat kepada ketiga anak kecil seusia kelas dua SD tersebut. Pada saat bersamaan, di jalan yang juga ramai oleh puluhan kendaraan bermotor, melintas sepasukan siswa-siswi SMA dengan pakaian putih-putih. Mereka melangkah tegak meski dengan wajah telihat lelah.

Kehadiran pasukan 17-an itu rupanya tak membuat tertarik penonton. Apalagi begitu giliran yang tampil di panggung adalah gadis remaja dengan balutan pakaian ketat dan badan semampai. Perhatian penonton semakin tertuju kepada si gadis manis tersebut. Begitu musik mengalun, si gadis pun bergoyang sambil menyanyikan lagu dengan vokal lumayan merdu. Karuan, penonton bertepuk sambil bergoyang. "Boleh lah," kata Karnoto, anggota Tim Jelajah Banten dari LAZ Harfa mengomentari aksi biduanita tersebut.

Setengah jam berselang kami kembali melanjutkan perjalanan. Suasana kembali sepi. Terlebih setelah wilayah Kecamatan Malingping kami lewati, jalanan yang kami lalui begitu gelap dan pekat. Malah, sesekali kami jumpai binatang melata melintas. "Tuh lihat ada ular melintas," kata Arif sambil menunjuk ke arah ular berwarna belang. Selain ular, musang pun kerap kami jumpai.

Memasuki Kecamatan Bayah, suasana sepi semakin terasa. Hanya satu dua mobil saja yang berpapasan. "Yang kita lalui sekarang adalah pantai," ujar Arif memecah kesunyian.

Karena gelap, pantai Bayah yang terkenal dengan ketinggian ombaknya tak dapat kami saksikan, kecuali pohon-pohon kelapa yang seakan saling bekejaran dengan kami lantaran terosorot lampu kendaraan, serta sesekali terdengar bunyi deburan ombak. Setelah beberapa kali berkelok ke kiri dan ke kanan, kendaraan memasuki pintu gerbang kawasan Desa Sawarna.

Wajah Arif tiba-tiba berubah tegang dan cemas. Rupanya ia mengkhawatirkan hambatan yang kemungkinan bakal terjadi karena jalan menuju Desa Sawarna yang menjadi tujuan perjalanan lumayan terjal dan melintasi kawasan hutan. "Kayaknya kita harus segera berhenti karena jalan rusak," kata Arif.

Arif mengaku khawatir sedan yang dikendarainya tak akan mampu menembus hutan, apalagi jalannya yang terjal. "Yang saya takutkan bukan manusia, tapi binatang," aku Arif sambil menceritakan tentang monyet-monyet yang hidup di kawasan hutan jati.

Kami cukup beruntung. Jalan menuju Desa Sawarna yang kami perkirakan masih rusak ternyata sudah dihotmix. Kami pun lega. Tapi, rasa lega mendadak sirna begitu jalanan hotmix berubah terjal dan berbatu. Apalagi ketika harus melintasi penurunan yang sangat curam. Kami menahan nafas sambil mulut komat-kamit membaca doa. "Bismillah," kata Arif dengan pandangan mata penuh konsentrasi.

Dengan gigi dua kendaraan berjalan pelan. Sesekali rem diinjak untuk menghindari batu atau lubang serta kemungkinan tergelincir. "Alhamdulillah," kami berucap bersamaan begitu berhasil melalui turunan yang curam tersebut. Kendaraan kembali melaju lancar, apalagi jalanan kembali berhotmix.

Setelah itu, suasana desa wisata mulai terasa. Di sepanjang kiri kanan jalan berdiri rumah-rumah penduduk dengan pagar rapi bercat nyaris seragam, hijau telor. "Bagaimana kalau kita menginap di pesantren saja," Arif menyampaikan usulan.

"Ya, kayaknya enak menginap di kobongan (pondokan, pen) pesantren. Lebih asyik dan alami," jawab penulis. Kendaraan pun berhenti tepat di depan pesantren.

Suasana kobong masih ramai dengan aktivitas para santri yang sedang menggali tanah untuk dipasangi gapura yang terbuat dari kertas semen bertuliskan Selamat Hari Kemerdekaan RI. Kebetulan Pak Kiai tengah berada di kobongan.

"Assalamualaikum," ucap kami.

"Waalaikum salam, mau kemana ini? Mari silakan duduk," jawab Pak Kiai sambil mempersilakan kami memasuki kobongan.

"Sengaja datang ke sini Pak," ujar Arif.

Sikap ramah dan terbuka Pak Kiai dan para santri membuat suasana cair. Kami pun hanyut dalam obrolan ringan dan sesekali dibumbui gelak tawa. Apalagi ketika penulis menanyakan nama Pak Kiai.

"Bapak siapa namanya?" tanya saya.

"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil senyum.

Karena bingung tak tahu maksudnya, saya kembali bertanya, "Siapa Pak namanya?"

"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai penuh teka teki.

Beberapa saat terpana, Arif tiba-tiba tertawa. "Oo... Pak Zaenuddin," kata Arif.

"Ya nama saya Zaenuddin, tapi MZ-nya ketinggalan di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil tertawa.

Rupanya nama Pak Kiai itu sama dengan nama Kiai Sejuta Umat KH Zaenuddin MZ. Hanya, yang bersangkutan tidak memakai huruf MZ di belakang namanya.

Sesuai sholat isya di masjid yang terletak di samping kobongan, kami kembali melanjutkan obrolan. Dalam suasana yang santai dan akrab, Pak Zaenuddin banyak berkisah tentang kiprahnya selama ini, termasuk tentang semangat dan cita-citanya mengelola pesantren yang baru sebulan berdiri.

Di tengah perbincangan, muncul Mustofa, anak sang kiai. Dia pun ikut nimbrung dalam obrolan. "Ini Mustofa anak saya. Aktivitasnya selain mengajar honorer dia juga menjadi guide bagi wisatawan asing," ujar Pak Kiai mengenalkan anaknya.

Jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Setelah membuat janji dengan Mustofa untuk mengantarkan kami menjelajahi kawasan pantai dan beberapa gua, kami pamit tidur. Begitu juga Mustofa, pamit untuk pulang ke rumah. Sedangkan Pak Kiai melanjutkan aktivitas menulis. Entah, apa yang dia tulis.......

***

Pukul lima pagi kami bangun. Setelah solat Pak Kiai datang dan mengajak kami ke rumahnya. "Ayo, kita ke rumah dulu," ajaknya.

Di rumah yang sederhana itu kami disuguhi teh panas dengan panganan kripik pisang. "Ya, seperti inilah kondisi kami, seadanya. Jadi mohon maaf jika kami tidak bisa melayani dengan baik," kata Pak Kiai merendah.

"Sudah pak, ini juga lebih dari cukup. Apalagi kami diizinkan menginap di pesantren," ujar Arif.

Setelah mengobrol beberapa saat, kami pamit untuk persiapan melakukan perjalanan ke pantai. "Nanti, kalau ada apa-apa hubungi saja Mustofa, pagi ini saya juga akan ikut upacara bendera," kata Pak Kiai. Kami pun berkemas.

Pantai Ciantir adalah kawasan pantai yang hendak kami tuju. Untuk sampai di pantai yang terkenal sebagai tempat surfing itu, kami harus melintasi jembatan goyang dan melewati perkampungan penduduk.

Sekitar 200 meter dari pantai, tiba-tiba kami dihadapkan sebuah pemandangan unik. Di tengah kawasan berumput yang kami lalu, terlihat jejeran ban-ban yang dicat putih memanjang hingga mencapai ratusan meter. ’’Wah, ini sih lapangan udara," kata Arif, seraya bercerita ia pernah mendarat di bandara perintis di Pulau Kalimantan persis seperti yang dilihatnya di Sawarna.

Dugaan pun muncul. "Bisa jadi ini tempat pendaratan pesawat kecil yang dibuat para turis asing. Apa pemerintah sudah tahu ya," ujar Arif setengah bertanya.

Setelah mengamati sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tepat di bibir pantai berdiri Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan beberapa bangunan panggung mirip home stay. Sayang, pagi itu suasana TPI sedang sepi. "Nggak ada siapa-siapa di sana (di TPI)," ujar seorang pelintas yang berpapasan dengan kami.

Yang tragis adalah bangunan-bangunan mirip home stay itu. Selain tak berpenghuni, bangunan-bangunan tersebut sama sekali tidak terawat dan kumuh. Beberapa bagian bangunan mengelupas, atap pun banyak yang ambrol. "Padahal bangunan ini dibangun dengan dana APBD Provinsi," kata Arif sambil geleng-geleng kepala.

Setelah melihat-lihat sekeliling bangunan, kami menuju pantai. Selain pemandangannya yang indah dan asri, deburan ombak yang memecah sepi, serta sepanjang pantai berbatu karang dengan lumut hijaunya yang khas, semakin membuat kami tertarik mendekat. "Pantas saja banyak turis asing banyak yang datang ke sini. Habis indah sih," kata Karnoto.

Ketinggian ombak yang mencapai lebih dari dua meter memang membuat para petualang pantai asal Australia, Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia tertarik datang. "Bali dan Nias saja kalah. Sayangnya belum dikelola maksimal," kata Arif.

Selain ombaknya, karang luas yang menghampar di bibir pantai juga membuat keasyikan tersendiri bagi wisatawan. Sebab, di sela-sela karang itu banyak terdapat lubang besar yang membentuk kolam dengan ikan beraneka ragam. "Lihat tuh ikan apa itu," tunjuk Karnoto.

Di kawasan karang kami menjumpai seorang penangkap lobster. Ia tengah asyik menyiapkan umpan. "Dapat nggak Kang lobsternya," tanya penulis.

"Lumayanlah dapat dua," jawab pria yang mengaku bernama Jefri.

Dari obrolan dengannya, diketahui bahwa usaha penangkapan lobster ini cukup menjanjikan. Untuk satu kilo lobster saja dihargai 100 ribu rupiah. "Atuh ini mah bisa mengalahkan gaji pegawai negeri," kata Arif.

Puas berbincang dengan Jefri kami mengalihkan perhatian ke tengah pantai. Di tengah deburan ombak yang berkejaran, dua orang turis asing tengah asyik bersurfing ria. Sementara, nun di salah sudut pantai, empat orang bule tengah bersiap dengan alat surfing-nya.

Keempat bule itu kami datangi. "Hallo mister," sapa Arif.

"Hallo...!" kata salah seorang dari mereka.

Keempat bule itu adalah warga Australia. Mereka sengaja datang ke Sawarna khusus untuk surfing. Pantai Ciantir, Desa Sawarna, kendati belum dikelola maksimal, memang sudah cukup dikenal oleh para turis asing terutama dari Australia, khusunya bagi penggila surfing. Menurut Mustofa, guide lokal yang lancar berbahasa Inggris, para turis itu bisa tinggal di Sawarna antara satu hingga dua minggu.

Setelah berfoto bersama dan sedikit berbasa-basi, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Layar. Tanjung Layar adalah karang besar yang membentuk seperti bangunan kuno mirip peninggalan masa prasejarah. Suasana semakin eksotis manakala karang yang berdiri gagah itu dihantam ombak.

Puas menikmati keindahan Pantai Ciantir, kami memutuskan kembali ke kobongan untuk bertemu Mustofa.

***

Setelah mencari makan di warung, Mustofa dengan kaos hitam bergambar Desa Sawarna dipadu celana pendek dan spatu kets, muncul. "Darimana tadi?" tanya Mustofa.

"Habis dari pantai Kang," jawab Arif.

"Mau kemana sekarang, ke Gua Lalay atau Gua Lauk," tanya Mustofa memberi pilihan.

Kami memutuskan Gua Lauk sebagai objek jelajahan selanjutnya. Selain terkenal dengan pantainya, Desa Sawarna juga memiliki puluhan gua dengan suasana di dalamnya yang indah karena terdapat stalaknit hasil proses alam selama ratusan tahun yang membentuk berbagai ornamen alami. Apalagi jika stalaknit itu terkena cahaya senter atau obor, mampu memantulkan cahaya terang seperti intan. Gua-gua itu, tentu saja menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan.

Sesuai namanya, Gua Lalay dikenal sebagai tempat berkembangnya kelelawar yang dalam bahasa Sunda dinamakan lalay. Demikian juga dengan Gua Lauk yang berarti gua ikan. Gua ini dulunya dikenal sebagai tempat hidupnya berbagai jenis ikan khas air tawar. Sayangnya, ikan-ikan di gua tersebut kini amat jarang ditemukan.

Untuk menuju Gua Lauk, kami membutuhkan waktu hampir satu jam. Melintasi pemukiman penduduk, areal persawahan yang hijau, dan menyusuri sungai. Jalanan sesekali terjal, membuat nafas tersengal.

"Masih jauh nggak Kang," tanya penulis kepada Mustofa dengan nafas tersengal.

"Nggak, tuh guanya sudah kelihatan," jawab Mustofa. Padahal, gua itu sama sekali belum terlihat.

Setelah beberapa lama berjalan, kami pun tiba. Sepintas tak ada keistimewaan, kecuali sebentuk karang besar yang membentuk lobang tempat mengalir air. "Kita naik dulu ke atas. Dari situ kita masuk gua," ujar Mustofa sambil menyiapkan obor dan pandangan mata menuju ke arah bukit.

"Ayo kita naik," kata Mustofa lagi. Kami pun naik ke atas.

Tiba di atas bukit, seisi gua menjadi jelas terlihat. Sayang keindahan gua ini tercoreng oleh aksi-aksi vandalisme para pengunjung. Beberapa bongkahan stalaknit juga terlihat di beberapa lokasi. "Biasa, ada saja pengunjung yang mengambil stalaknit," Mustofa menerangkan.

Bisa dimaklumi jika ada tangan jahil mengambil paksa stalaknit-stalaknit itu. Selain bentuknya bagus seperti hasil pahatan, jika terkena sinar bisa memantulkan cahaya. Dipandu Mustofa dengan kedua tangannya memegang obor, kami memasuki gua. Sungguh, luar biasa indahnya pemandangan di dalam.

Jika tidak hati-hati, pengunjung yang masuk ke gua bisa celaka. Selain gelap, stalaknit yang menancap kokoh di dalam gua bisa membuat luka di tubuh. Begitu juga jalan yang licin akibat tanah lembab. Belum lagi adanya binatang melata seperti ular. "Kalau ular tanah nggak ada. Paling ular sanca," kata Mustofa.

Puas mengelilingi beberapa bagian gua, kamu memutuskan masuk ke terowongan tempat air mengalir. Awalnya tak seberapa dalam, tapi begitu masuk semakin ke dalam, air pun semakin dalam saja hingga setengah badan. "Kita kembali saja," kata penulis karena ngeri membayangkan gua tiba-tiba runtuh.

Kami putar haluan dan memilih jalur lain untuk keluar. "Alhamdulillah akhirnya kembali," ungkap Karnoto.

"Luar biasa, Tuhan memang tak pernah sia-sia menciptakan segala sesuatu," ujar Arif kagum atas pemandangan di dalam gua.

Sebelum pulang, Mustofa mengambil inisiatif untuk mengambil kelapa muda dari pohonnya langsung. Tak berapa lama, Mustofa kembali dengan empat butir kelapa muda. Tangannya begitu trampil mengupas kelapa muda itu. "Srupppp...," air kelapa pun berpindah dari batoknya ke tenggorokan.

Setelah istirahat sejenak kami berkemas.

***

Tiba di pesantren kami disambut Pak Kiai Zaenuddin. "Gimana dengan Gua Lauknya. Saya yang orang sini malah sama sekali belum pernah ke sana," aku Pak Kiai yang telah berusia setengah abad lebih ini.

Selepas solat duhur dan istirahat sejenak, kami pamitan pulang. Namun sebelumnya kami mampir terlebih dahulu ke makam Van Gogh. Namanya sama dengan Van Gogh pelukis terkenal asal Belanda yang legendaris itu, dan kabarnya, Van Gogh ini adalah adik Van Gogh sang pelukis. Entahlah. Sayang, batu tulisan di nisan yang menerangkan tanggal kelahiran dan kematian bangsa Belanda itu sudah rusak dicongkel tangan jahil.

Desa Sawarna memang memiliki catatan sejarah lumayan panjang. Kendati berada di lokasi yang nyaris terisolir, desa seribu warna dan makna ini dulunya adalah kawasan perkebunan yang dikelola bangsa Belanda. Karena itu, tak heran bila terdapat makam orang Belanda, dan masyarakatnya pun begitu terbuka menerima kehadiran orang-orang asing.

Di samping itu, Desa Sawarna juga dikenal sebagai tempat kerajinan gitar dengan kualitas tinggi. Saking kondangnya, musisi sekelas Iwan Fals pun memesan gitar secara khusus kepada sang empu, Bapak Hudaya.

Sayang, kawasan wisata yang tak kalah dengan Bali ini belum dikelola dengan baik. Kalau tidak diantisipasi, penduduk di kawasan ini bisa menjadi tamu di kampungnya lantaran banyak orang asing yang tertarik memiliki tanah di sana. Adanya ’bandara’ dan vila milik orang asing adalah bukti kawasan itu menjadi incaran.***

Ditulis oleh Abdul Malik, mantan wartawan Radar Banten (orang yang mengajari saya menulis)

Catatan: Dimuat di Radar Banten edisi Selasa 22 Agustus 2006

Warga Baduy Dalam Rayakan Tradisi Kawalu

Warga komunitas suku Baduy Dalam di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Jumat (5/3/2010), merayakan tradisi kawalu kedua atau "bulan karo" penuh sederhana karena belum seluruhnya warga musim panen padi huma.

"Perayaan ini penuh khusyuk dan berdoa meminta kondisi negara aman, damai, dan sejahtera," kata Sekretaris Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Sarpin, saat dihubungi di Rangkasbitung.

Sarpin mengatakan, perayaan kawalu bagi warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo dan Cikawartana, Desa Kanekes, sedangkan Kampung Cikeusik sudah merayakan pada hari Kamis (4/3/2010).

Ketiga perkampungan Baduy Dalam tersebut digelar dengan penuh sederhana.

Warga merayakannya dengan penuh khidmat dan khusyuk sambil berdoa meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. "Kalau negara ini aman dan damai tentu masyarakat akan sejahtera," katanya.

Dia meminta selama kawalu berlangsung, pengunjung dilarang masuk ke perkampungan Baduy Dalam karena sedang melaksanakan ibadah setelah puasa seharian.

Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya sebagai aparat pemerintah telah memasang peringatan di pintu gerbang Baduy di Ciboleger agar pengunjung menaati hukum adat.

Sebab, tradisi kawalu merupakan keputusan adat yang harus dilaksanakan setiap tahun, dirayakan tiga kali selama tiga bulan dengan puasa seharian.

Perayaan kawalu merupakan salah satu tradisi ritual yang dipercaya oleh warga Baduy Dalam sehingga perlu menghargai dan menghormati keyakinan agama yang dianut mereka.

"Selama melaksanakan kawalu, kondisi kampung Baduy Dalam sepi karena mereka berpuasa dan banyak memilih tinggal di rumah-rumah," katanya.

Wakil Lembaga Hukum Adat Baduy Dalam, Ayah Mursid, mengaku, pihaknya memohon maaf karena selama perayaan kawalu perkampungan Baduy Dalam meliputi Cikawartana, Cikeusik, dan Cibeo tertutup bagi pengunjung, sekalipun itu pejabat daerah ataupun pejabat negara. "Kami menjalankan kawalu karena peninggalan adat dan harus ditaati," katanya.

Menurut dia, setelah berakhir perayaan kawalu, tentu pengunjung kembali diperbolehkan mendatangi kawasan Baduy Dalam.

Dia menjelaskan, setelah kawalu, satu bulan yang akan datang merayakan acara Seba dengan mendatangi bupati dan Gubernur Banten dengan membawa hasil-hasil bumi (pertanian). "Saat ini sebagian warga Baduy sudah panen padi huma," katanya.

Dia menambahkan, perayaan Seba itu sebagai salah satu bentuk silaturahim yang harus dijalin dengan baik kepada pemerintah. [sumber: www.kompas.com]

Jiwa Mandiri Bertumbuh di Baduy

”Punten sakarang tos nape di mana? Sakarang diatosan di kurayni sakarang diatosan”

Sebaris kalimat itu muncul di layar ponsel ketika mobil yang kami tumpangi sedang dalam perjalanan menuju perkampungan Baduy Banten, Senin (15/3). Pengirimnya seorang warga Baduy Luar yang hendak memandu kami.

Ternyata telepon genggam pun kini telah masuk dan dimanfaatkan sebagian warga Baduy Dalam di Kampung Cipaler, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, meski banyak di antaranya masih secara sembunyi-sembunyi.

Terlepas dari adanya pengulangan dan salah ketik dalam pesan tersebut—semisal diantosan ditulis dengan diatosan, dan Kuranji ditulis kurayni—pengiriman pesan secara tertulis tersebut sedikit mengagetkan. Itu karena sering dikabarkan bahwa warga Baduy tak pernah bersekolah, sebab secara adat memang dilarang. Lalu bagaimana cara mereka bisa baca tulis?

Ketika hal ini ditanyakan, beberapa warga hanya tersenyum dan menggumam, seperti malu-malu, bahwa kemampuan membaca itu mereka pelajari sendiri saja.

Barulah kemudian dari Lilik (30), seorang warga Kampung Kaduketug yang memiliki warung didapat jawaban lebih terang. Mereka belajar membaca secara mandiri dengan mencermati bungkus rokok dan kemasan makanan minuman yang ada mereknya. ”Misalnya ada rokok merek Gentong. Kami ingat-ingat kalau Gentong itu tulisan g-nya seperti itu, e-nya seperti itu,” katanya. Huruf-huruf itu mereka banding-bandingkan dengan yang ada di merek lain. Mereka ingat-ingat bentuk huruf itu. Dunia aksara pun terbuka untuk mereka.

Belajar sendiri dengan cara ini jelas butuh waktu. Lilik butuh waktu belajar hingga tiga tahun. Menurut penjelasannya, keinginan bisa membaca itu tumbuh dari dirinya sendiri ketika ia berumur 13 tahun.

Dengan bisa baca tulis, Lilik pun mampu membaca nota. ”Kalau beli barang-barang di Rangkas (Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak) jadi mudah. Menghitung uang pun bisa,” kata lelaki yang dalam sebulan bisa empat kali ke Rangkas untuk kulakan barang ini.

Namun, sama halnya dengan dirinya yang tak dipaksa untuk belajar agar bisa membaca, Lilik pun tak mau memaksa anaknya segera bisa membaca. Ia membiarkan keinginan untuk membaca itu tumbuh sendiri. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bangga ketika sejurus kemudian ia berkisah bahwa anaknya sudah bisa menulis huruf penyusun namanya ketika masih berumur 8 tahun. ”Saya ajari dikit-dikit pas ia mau,” kata Lilik yang juga mengaku bisa mengakses internet lewat ponsel atau warnet di luar perkampungan Baduy ini.

Kemampuan membaca secara otodidak ini hanya satu dari sekian kemandirian yang dimiliki warga Baduy. Rumah dan jalan-jalan yang ada di dalam permukiman Baduy mereka bangun sendiri tanpa bantuan dari luar. ”Kecuali kalau ada musibah, seperti kebakaran beberapa waktu lalu, kami mau dibantu. Tapi seperlunya saja,” kata Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes.

Sejauh bisa ditangani, warga Baduy akan mengerjakan sendiri pemenuhan kebutuhannya. Untuk membangun rumah pun mereka menggunakan bahan yang banyak terdapat di sekitar, mulai dari kayu, bambu, hingga daun-daun sebagai atapnya.

Kebutuhan makan pun dicukupi dari hasil panenan padi di ladang. Baru ketika hasilnya tidak cukup, mereka membeli beras dari luar. Sayuran pun berlimpah. Akan halnya barang seperti garam atau ikan asin, dapat pula mereka beli dengan uang hasil penjualan hasil kebun seperti buah-buahan.

Ini pula yang dilakukan Idong, warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo. Dengan berjalan kaki, turun naik bukit, ia memikul 14 butir durian untuk dijual ke Pasar Ciboleger. Satu butir durian dijualnya Rp 10.000.

Di hari lain, warga dapat pula menjual hasil bumi seperti petai yang kini per biji laku dijual Rp 500, atau pisang yang per sisir Rp 5.000. Kearifan warga Baduy menjaga alam terbayar dengan banyaknya sumber rezeki di lingkungan sekitar yang dapat dimanfaatkan warga.

Hari-hari Asti (40), warga Cipaler, misalnya, diisi kegiatan mencari lahan untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi ia membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan.

Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dia cetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000.

Begitu fajar merekah, entakan alat tenun pun terdengar dari seantero kampung. Di salah satu rumah, Ambu Amin, perempuan yang menilik dari kerut wajahnya berusia di atas 60 tahun, masih tekun menenun benang untuk dijadikannya kain.

Di rumah lainnya, Sarni yang masih berusia 10 tahun pun mulai belajar menenun dari bibinya. Disebabkan masih belia, Sarni pun hanya ditugasi membuat tenunan ukuran kecil, yakni selendang. Keterampilan menenun bagi masyarakat Baduy diwariskan turun-temurun. Di antara mereka saling mengajari, sehingga sampai kini pun mudah ditemui alat tenun di banyak rumah warga.

”Dulu untuk mewarnai kain agar hitam dipakai kulit jengkol. Kalau sekarang sudah memakai pewarna buatan,” kata Sarmidi, warga yang berprofesi sebagai tukang celup tenun.

Selain faktor keawetan warna dari kelunturan, mulai sedikitnya pohon jengkol merupakan salah satu penyebab beralihnya jenis pewarna tenun.

Sama halnya dengan keterampilan menenun, kemampuan Sarmidi untuk mencelup pun diwarisi dari orangtuanya. Hal yang sama terjadi di ladang ketika kemampuan bercocok tanam pun diperkenalkan kepada anak-anak yang sering kali ikut berladang. Pola seperti ini menjamin beragam keterampilan bisa dipelajari secara mandiri di dalam lingkungan Baduy untuk akhirnya bisa lestari hingga kini.

Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja mengatakan kemadirian mereka adalah bentuk pendidikan yang dimiliki masyarakat Baduy.

Meski tidak mengeyam pendidikan formal, mereka memiliki bekal untuk hidup dengan aktivitas yang rutin mereka jalani setiap hari.