Perjalanan Keluarga ke Pandeglang [1]


Seekor anjing menatap saya, istri dan Fadia, anak pertama kami dengan sejuta pertanyaaan. Dalam benak saya, si anjing mungkin ingin bertanya darimana asal usul kami bertiga karena baru terlihat. Tatapanya dialihkan ketika sang majikannya memanggil untuk diajak ke hutan.


OLEH ABU FADIA


Sabtu awal Februari 2010, sekira pukul 06.00 WIB, kami bertiga meluncur ke Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kendaraan roda dua asal negeri sakura, Jepang menjadi saksi perjalanan kami bertiga melalui jalur alternatif. “Jangan lewat jalur Pandeglang, bus gila-gila, lebih baik kita lewat jalur alternatif,” kata saya kepada istri yang langsung diterima. Sebelum memasuki jalur alternatif, kami menyempatkan sarapan nasi uduk di dekat markas Polda Banten, yang beberapa minggu terakhir ini menjadi langganan kami.

Hazimah Ayu Fadia, yang saat itu berumur 1 tahun 9 bulan tampak ceria menikmati perjalanan. Bahkan, selama di perjalanan, Fadia selalu bergumam dan bernyanyi sendiri, betul-betul menikmati. Hempasan udara yang sejuk mulai kami rasakan saat memasuki kawasan Gunung Sari, Kabupaten Serang. Bagi saya kawasan ini sudah tidak asing karena profesi sebagai wartawan memaksa saya berkunjung ke tempat ini berulangkali. “Di sini udaranya enak banget, mirip di puncak,” kata istri.

Memang rute yang sengaja kita pilih adalah jalur Taktakan-Gunung Sari-Mancak-Anyar, karena untuk menghindari polusi udara dan keganaan sopir bus jurusan Pandeglang-Kalideres. Bus warna merah ini seperti tidak pernah kapok menabrak orang dan terjungkir. Meskipun jalan yang dilalui sempit, berkelok dan ramai, sopir bus tetap melajut kencang mirip orang kerasukan jin atau iblis. Bagi pembaca yang belum melihat aksi mereka, hati-hati apabila melintasi jalan Pandeglang-Serang.

Di Rawa Dano, kami menyempatkan diri untuk foto dengan latar belakang kabut putih. “Subhanallah, bagus banget tapi kenapa tidak mendapat perhatian yah. Padahal, cukup potensial untuk dijadikan wisata,” kata istri yang baru kali ini melihat Rawa Dano. Di sinilah kami bertiga dipelototin seekor anjing warna hitam milik warga kampung setempat. Mata anjing tersebut seperti ingin menanyakan kepada kami darimana asal usulnya, karena baru melihat di sini. Tak lama kemudian, si anjing dipanggil majikannya untuk diajak ke hutan mencari sesuatu yang kami tidak tahu.

Perjalanan kami dilanjutkan, beberapa menit lagi akan memasuki kawasan yang terkenal pantainya yaitu Anyer. Di sini kami terjebak macet sekitar 15 menit tepatnya di pasar Anyer. Dalam hati saya heran, kenapa macet. Maklum, saya tahu persis lokasi pasar Anyar yang luas dan bukan di jalur utama melainkan jalur yang tidak padat kendaraan. “Pasti ada sesuatu yang terjadi nih,” kata saya dalam hati. Dugaan saya semula adalah kecelakaan lalu lintas, tapi ternyata hanya persoalan sepele yaitu tidak disiplin lalu lintas.

Rupanya, kemacetan terjadi karena para pengguna jalan dari dua arah sama-sama ingin mendahului sehingga jalan menjadi penuh. “Kenapa yah, orang Indonesia kok sulit diajak disiplin,” kata saya kepada istri. Coba diperhatikan deh, di SPPBU, di loket pembayaran listrik, di jalan raya, hampir dipastikan semrawut meskipun sudah diatur sedemikian rupa. ***