Ngresep Teh Pocinya, Ma Nyos Satenya


Mi tolong dong buatkan teh poci,” pinta saya kepada istri setiap pagi dan sore. Ngeteh dengan peralatan poci berbahan tanah liat dan gula batu bukan saja menghangatkan badan tapi membuat saya selalu merasa tinggal di tanah kelahiran.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Moci di daerah kelahiran saya yaitu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dikenal dengan istilah moci. “Moci, ei, moci, iuran juga tidak apa-apa kok,” kata Toto, salah satu teman permainan saya sekira tahun 1992. Hampir setiap haris aktivitas moci dilakukan dan biasanya mulai ngumpul-ngumpul antar pukul 20.00 WIB hingga 23.00 WIB.

Moci adalah kebiasaan orang di tanah kelahiranku yang suka minum teh seduh dalam poci yang terbuat dari gerabah ukuran kecil. Sebelum dituangkan ke dalam cangkir kecil, poci diisi air panas dan teh yang rasanya khas. Setelah air sudah pekat maka dituangkan ke dalam cangkir yang sudah diberi gula batu. Ngresep dan kesegaran tubuh itulah yang akan kita dapatkan setelah moci.

Selain untuk sarana berdiskusi atau ngobrol, moci bagi sebagian besar masyarakat Brebes juga dijadikan peluang bisnis dengan mendirikan kedai atau rumah makan. Di Rumah Makan “Murni” misalnya, selain menjual sate kambing muda, pemilik yang juga mertua saya menyediakan teh poci. Rumah makan ini berada di pertigaan Desa Pejagan, Kecamatan Tanjung. Tepatnya, 20 meter dari pos jaga polisi Pejagan pada belokan jalan yang ke arah Purwekerto, Jawa Tengah.

Melihat peluang yang besar setelah ada pembangunan Tol Pejagan sekira tahun 2009, pemilik pun membuat cabang baru di Desa Ketanggungan, Kecamatan Ketanggungan, persis di samping Markas Koramil Ketanggungan atau sekira 200 meter dari pintu Tol Pejagan. Pengamatan saya, hampir dipastikan rumah makan di daerah pantai utara (Pantura) ini menyediakan moci dengan harga sekira Rp 6.000 per porsi. Bagi yang memiliki uang cukup maka moci akan dipadukan dengan makanan sate kambing muda. Ngresep dan ma nyos, itulah perpaduan dua rasa yang akan kita rasakan ketika moci dan makan sate kambing muda secara bersamaan.

Menurut Pande Made Kutanegara, Antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekira abad ke-17, wilayah pantura sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China. “Pada masa lalu, daerah pantura merupakan jalur perdagangan yang ramai,” kata Pande seperti yang dikutip Kompas, edisi Minggu (18/7). Pasca lulus SLTA tahun 1999 dan merantau ke Kota Serang, Provinsi Banten, kebiasaan moci sempat terhenti beberapa tahun. Selain terbawa arus kesibukan dunia kampus juga sulitnya mencari barang dan bahan untuk moci. Kebiasaan moci mulai “kambuh” lagi di tahun 2003, dimana momen ini adalah tahun pernikahan saya dengan seorang wanita asal Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang sudah enam tahun tinggal di Kota Solo.

Sejak saat itu saya kembali menikmati ngresepnya moci sampai sekarang. Apalagi, mertua memiliki rumah makan yang menyediakan moci selain sate kambing. Bahkan untuk mempertahankan kebiasaan mocil saya pun membawa bahan-bahannya langsung dari Brebes. Kebiasaan moci biasa saya lakukan setiap pagi sekira pukul 06.30 WIB sebelum berangkat kerja dan pukul 20.00 WIB, usai pulang kerja.

Kini, seiring perkembangan gaya hidup masyarakat Indonesia. Budaya minum teh di kota-kota besar seperti Jakarta sudah menjadi peluang bisnis bagi sebagian masyarakat. Minuman yang dulu dianggap “zadul” ini kini dikemas dengan citra yang lebih modern. “Ada kenikmatan gaya hidup di dalamnya,” tulis wartawan Kompas, Lusiana Indrisari dan Yulia Sapthiani, edisi Minggu (18/7/2010).

Dengan moci persahabatan orang mulai merekat dan tumbuh alamiah. Citra rasa pada pekatnya teh dan manisnya gula batu yang khas menambah kebugaran tubuh dan semangat pun tumbuh. Sejak kebiasaan moci kembali muncul, saya selalu menyajikan poci kepada teman-teman dan para tamu yang berkunjung ke rumah. “Sekalian mengenalkan tradisi daerah dan promosi rumah makan milik mertua,” kata saya dalam hati. ****

Konsep Istana, Arsiteknya Rasulullah Saw


Sungai di luar benteng Keraton Kaibon, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, tak sekadar memegang fungsi keamanan tapi bentuk kecerdasan arsitektur kuno untuk kenyamanan para raja. Inilah kesimpulan saya pribadi saat berkunjung ke tempat ini pada awal tahun 2009.

OLEH UMMI FADIA

Kegemaranku terhadap film-film fiksi ilmiah dan sejarah kuno telah memberikan pengetahuan terhadap gaya bangunan istana di zaman dulu. Istana atau yang sering disebut oleh orang luar negeri kastil merupakan bangunan tua yang usianya mencapai ratusan tahun. Pengamatan saya yang didapatkan dari beberapa literatur yang pernah dibaca, ada kemiripan pada konsep bangunan di hampir seluruh istana di dunia. Dimana setiap bangunan istana selalu terdapat tembok yang mengelilingi kompleks istana atau sering disebut benteng. Kemiripan lainnya adalah istana selalu dikelilingi sungai pada bagian luar benteng.

Konsep bangunan seperti ini dalam pikiran saya pasti memiliki tujuan dan kesimpulan saya adalah agar orang luar istana terutama musuh hanya bisa melalui gerbang istana, karena di sekiling istana sudah dikepung sungai yang biasanya menjadi habitat buaya dan binatang buas lainnya. Satu-satunya pintu masuk adalah melalui pintu gerbang yang dijaga oleh prajurit istana. Para tamu kerajaan harus melewati jembatan sebelum masuk ke gerbang utama. Sistem pengamanan istana seperti itu dimaksudkan supaya tidak semua orang bisa masuk ke dalam kompleks kerajaan, dimana raja dan keluarga berada. Selain itu, konsep pengamanan tersebut bertujuan untuk mempersulit musuh yang akan menyarang kerajaan.

Konsep bangunan kerajaan inilah yang saya temukan saat berkunjung ke situs kuno Keraton Kaibon di kawasan Banten Lama, pada awal 2010. Di tempat ini saya menemukan reruntuhan bekas kamar raja yang berbentuk kolam besar, dimana airnya berasal dari aliran sungai di sekitar istana. Keraton Kaibon, menurut guide Mang Ubay, adalah tempat tinggal yang dikhususkan untuk ibu suri (ibunda sang raja-red).

Kenapa kamar raja ada genangan air seperti kolam,” tanya saya kepada Mang Ubay. Menurut Mang Ubay, air dari suangai sengaja dialirkan kebawah lantai kamar raja agar hawa panas bisa diminimalisir. Maklum, kawasan keratin berada di dekat pantai yang cukup panas. “Kalau jaman sekarang mah seperti AC,” kata Mang Ubay. Melihat fakta dan keterangan dari guide, saya mengambil kesimpulan bahwa arsitektur kuno pada jaman kerajaan dulu cukup mengaggumkan. “Sebuah arsitektur yang ramah lingkungan dan mesti menjadi inspirasi bagi kita. Subahanallah, maha suci Allah yang telah memberikan ilmu kepada manusia,” gumam saya setelah melihat bangunan Keraton Kaibon.

Sebetulnya, konsep bangunan istana yang dikelilingi oleh sungai sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw yaitu pada bulan Syawal sekira tahun kelima Hijriah. Ketika itu, Muhammad akan diserang oleh musuh saat berada di Kota Madinah. Mendengar kabar tersebut, Muhammad Saw pun menggelar rapat dengan para sahabat untuk menyusun siasat perang yang efektif dan memiliki potensi menang. Salah satu sahabat Rasulullah Saw bernama Salman Al-Farisi mengusulkan agar membuat parit melingkari Kota Madinah, yang kemudian usul ini diterima oleh Rasulullah Saw.

Inilah yang kemudian disebut perang khandaq dimana pasukan yang dimiliki Rasulullah Saw hanya berjumlah kurang lebih 3.000 orang sedangkan musuh mencapai 10.000 orang, jumlah yang jelas tidak seimbang. Namun dengan strategi parit inilah pasukan Rasulullah Saw mendapat kemenangan. Mengenai bagaiman metode membangun parit digambarkan oleh Dr.Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthy dalam buku Sirah Nabawiyah yang ia tulis.

Ternyata Rasulullah Saw dan para sahabat lebih dulu menggunakan konsep bangunan yang dilakukan para raja dalam membangun istana atau kerajaan.***

Di Bali, Kamar Hotel Kok Banjir?


Rombongan studi banding Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Serang tertawa ketika mendengar kamar hotel salah satu anggota kebanjira. “Kok bisa kamar hotel kebanjiran?” tanya salah satu staf kepada anggota Dewan karena penasaran.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA-BALI

Usai melakukan studi ke DPRD Kabupaten Badung, Provinsi Bali, rombongan termasuk saya langsung menuju ke Hotel Harris, sekira 200 meter dari Pantai Kuta. Waktu itu sekira pukul 20.00 WIB. Mungkin karena kelelahan, salah satu anggota Dewan (demi etika tidak perlu saya tulis namanya) bermaksud ingin berendam di kamar mandi. Dibukalah kran agar bak mandi terisi tapi sayangnya terlalu penuih, sehingga ketika badan orang tersebut masuk ke bak mandi maka air pun tumpah hingga air memuncrat sampai ke ruang tidur.

Ketika saya masuk ke kamar, kaget. Lah, kok kamar banjir nih,” kata Mansur, salah seorang rekan satu kamar menceritakan. Awalnya, dia tidak mengetahui penyebab kebanjiran berasal dari kamar mandi. Setelah rekannya selesai mandi barulah ia cerita bahwa tadi air di bak mandi terlalu penuh sehingga tumpah. “Seketika itu saya tertawa sendiri di dalam kamar,” kisah Mansur.

Kisah ini menjadi bumbu perjalanan saya saat mengikuti kegiatan para wakil rakyat ini. Dalam rombongan ada yang mencibir karena peristiwa itu dianggap memalukan. “Dusun bapak ini mah,” kata salah seorang staf sambil tertawa.

Di DPRD Kabupaten Badung, yang berada di Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung saya kagum karena seluruh gedung instansi pemerintah berlantai tiga dan menggunakan lift. “Ini kabupaten loh, bukan provinsi atau kota,” gumam saya ketika melihat kawasan tersebut.

Menurut keterangan pejabat yang menemui kami, pembangunan kawasan Puspemkab Badung berasal dari pinjaman Bank Bali kurang lebih 150 miliar. “Luasnya sekira 40 hektar yang menampung seluruh SKPD Se-Kabupaten Badung,” jelas salah satu pejabat kepada rombongan.

Karena tujuan rombongan adalah menggali informasi terkait kreativitas Pemkab Badung dalam menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor wisata, poin ini yang kemudian kita tanyakan secara spesifik kepada pejabat setempat. Dari penjelasan pejabat Badung, rombongan kaget karena PADnya menembus Rp 800 miliar sebanding dengan APBD Kabupaten Serang.

Pikir saya wajar wong banyak objek pariwisatanya, tapi ternyata PAD sebesar itu bukan dari penarikan pajak atau retribusi objek wisata melainkan hotel dan restoran. “Terus terang objek wisata kita minim, tapi kita pikirkan bagaimana caranya supaya wisatawan menginap di daerah Badung. Jadi, wisata silahkan kedaerah lain di Bali tapi menginap dan makan mesti kita tarik ke Badung,” kata salah satu pejabat.

Maka jangan heran kalau di Badung banyak sekali hotel dan restoran, terutama di sepanjang jalan di kawasan Pantai Kuta. Ketika saya keluar malam sekira pukul 24.00 WIB, suasana pinggiran Kuta masih ramai oleh wisatawan asing. Mereka ngobrol dan nongkrong di cafe dan restoran sambil menikmati suara deburan ombak. “Mungkin ini kali ya, kenapa para orang yang disangka teroris melakukan pengeboman,” kata saya dalam hati.

Jika ini yang dijadikan alasan saya kurang sependapat karena mereka juga manusia, yang membutuhkan sentuhan rokhani dari para juru kebenaran. “Islam itu kan ramhmatan lil alamin, bukan hanya untuk umat muslim sendiri,” kata Imam Syafii dalam autobiografinya.

Pagi harinya sekira pukul 06.00 WIB, disaat deburan ombak mulai terlihat jelas, matahari mulai bangun dari mimpinya. Saya dan beberapa anggota Dewan keliling kawasan Kuta dengan sepeda. Tujuan kami adalah lokasi pengeboman di museum Bom Bali I sekira 30 menit dari hotel dimana kami menginap.

Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [1]


Kemana nih dua anak itu, sudah 15 menit kok belum muncul juga,” gumam saya dengan perasaan kesal saat menunggu dua peserta tour keluarga yang ketinggalan.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA


Gelora semangat saya mendadak berubah seperti percikan api dari besi las yang sedang dicor sang tukang las. Lima belas menit sudah berlalu. Saya dan istri serta Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami menunggu di gerbang pintu masuk Komplek Perumahan Bumi Mutiara Serang (BSM) di Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani, sekira 3 kilometer dari rumah kami di Perumahan Banjarsari Permai, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten.


Jarum jam menunjukan angka 10.00 WIB, sengatan matahari mulai terasa di kepala dan keringat pun mulai mengucur dari pori-pori kulit. Kepulan asap hitam dari knalpot kendaraan yang melintas di samping kami bertiga menambah muram wajah lingkungan saat itu. Tampak dua petugas keamanan berseragam biru tua yang sedang berjaga memandangi kami bertiga.


Coba Mi di telepon si Ari, tanyain ada dimana gitu,” kata saya kepada istri yang juga menahan rasa kesal. Beberapa kali dihubungi, Ari, sepupu atau anak dari adik ibu mertua dan Surya, pengasuh Fadia, handphonenya tidak di angkat. Matahari terus merangkak naik tapi dua orang itu tak juga terlihat. Akhirnya kami pun memilih memutar arah untuk kembali ke rumah sambil menahan rasa kecewa karena rencana tour ke kawasan Banten Lama, di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, terancam akan berujung kegagalan.


Padahal ini kali pertama saya membawa Fadia ke kawasan yang sarat dengan situs sejarah Banten. Pada hari tertentu kawasan ini dipadati ratusan pengunjung yang ingin ziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin. Di kawasan ini terdapat Meriam Ki Amuk, Benteng Surosowan, Benteng Spelwijk, Masjid Agung Banten, Makam Sultan Hasanudin, Masjid Pecinan, Museum Kepurbakalaan Banten, Vihara dan menara, itulah penggalan sejarah yang ingin saya kenalkan kepada Fadia diusia dua tahun dua bulan.


Menurut Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) dalam Kompas, edisi 9 Juli 2010, sejarah adalah pijakan penting bagi setiap orang dalam menjalani hidup. Begitu pentingnya sejarah sehingga tanpa kenal sejarah, seseorang tak akan memiliki rasa cinta kepada bangsa dan negaranya. Meski di masa sekolah merupakan pelajaran yang membosankan karena penyampainnya tidak kreatif dan menjenuhkan. Namun, sesungguhnya saya menyukai sejarah karena sejarah merupakan guru kehidupan.


Nilai sejarah harus dikorelasikan dengan masa kekinian sehingga memiliki manfaat yang besar bagi kita. Namun sayang sejarah menjadi kurang menarik dan membosankan karena metode pengajaran yang keliru. Sejarah menjadi mata pelajaran yang kurang bernilai karena metode pengajaran ditekankan hanya pada aspek penghapalan bukan nilai-nilai sejarah itu sendiri. “Belajar sejarah tidak bisa cuma membaca. Harus ada pengalaman empirik dengan cara mengunjungi langsung ke lokasi. Saat mengunjungi Museum Bank Mandiri Jakarta, misalnya, jangan hanya sebatas informasi soal gedung tapi apa peran gedung tersebut pada masa VOC,” kata Kambali seperti dikutip Kompas.


Ditambahkan Reza M Syarief, penulis buku Life Of Exelent, selama ini otak kita hanya dijejali oleh hapalan-hapalan sejarah yang merupakan konsumsi otak kiri sedangkan otak kanan tidak difungsikan optimal. “Kita cuma disuruh menghapal kapan Pangeran Diponegoro lahir dan wafat, keturunannya siapa. Ini penting tapi ada yang jauh lebih penting yaitu bagaimana perjuangan Diponegoro merebut kemerdekaan. Nilai-nilai inilah yang semestinya ditanamkan kepada generasi sehingga otak kanan kita hidup jadi seimbang alias tidak miring,” kata Reza dalam sebuah acara di Gedung Sulfindo, Kota Cilegon, empat tahun silam.


Minggu (1/7) 2010, itulah hari perjalanan Fadia mengunjungi kawasan bersejarah di Banten Lama. Suasana saat itu terlihat ramai karena jalur Syekh Nawawi merupakan jalur alternatif menuju ke kawasan wisata pantai Anyer, Kabupaten Serang dan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang. Sepanjang perjalanan memutar arah saya tidak henti-hentinya menggerutu kepada Ari dan Surya karena telah mengancam tour ini gagal.


Selang beberapa menit, di saat motor kami sedang meluncur dengan kecepatan kurang lebih 60 kilometer perjam, tepatnya di tikungan setelah jembatan tol atau satu kilometer dari tempat saya menunggu. Suara klakson dari motor supra fit warna merah yang dikendari oleh pria berjaket hitam dan perempuan yang mengenakan jaket merah menyahut kami. “Umi,” teriak wanita tersebut sambil melambaikan tanganya kepada kami bertiga. Saya pun langsung mengurangi kecepatan untuk memastikan siapa orang itu kok seperti sudah akrab. “Itu kayanya Surya Bi, coba balik lagi aja,” kata istri.


Setelah tengok ke belakang, motor pun langsung berbalik arah dan benar juga ternyata dua orang itu adalah Ari dan Surya, orang yang nyaris membuat rencana tour batal. “Darimana saja, kok baru muncul. Kita mah sudah nungguin dari tadi sampai mau balik lagi ke rumah,” kata istri yang ingin mengetahui alasan kedua orang itu. Rupanya motor yang mereka pakai kehabisan bensin dan mencari bensin eceran susah. “Pas ada penjual bensin, eh kembaliannya susah karena uangnya Rp 100.000 sedangkan bensin yang dibeli cuma dua liter atau Rp 10.000. Yah, jadinya lama karena harus menunggu kembalian,” kata Surya. Tanpa diskusi panjang akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan ke Banten Lama. Ancaman gagal tour ke daerah ujung utara Kota Serang ini pun tidak terjadi.

Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [2]


Mi, itu kakak pakai seragam sekolah kaya Dede Dia,” kata Fadia saat melihat sekelompok anak-anak sekolah dasar yang sedang melakukan kunjungan ke Museum Keperbukalaan di Banten Lama.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA

Fadia terlihat menikmati kunjungan kali ini. Bahkan, anak kelahiran 20 April 2008 ini tampak riang saat melihat sekelompok anak-anak yang memakai seragam warna hijau, mirip seragamnya dia di sekolah Az-Zahra di komplek perumahan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit dari rumah, akhirnya kami berlima sampai di kawasan Banten Lama yang menjadi tujuan. Perjalanan dari rumah menuju Banten Lama hanya melewati empat belokan dan dua jembatan.

Namun bagi anda yang berasal dari Jakarta maka harus melewati pintu tol Serang Timur dan langsung bisa belok kiri. Yah sekira 30 menit sudah sampai di Banten Lama. Sepanjang perjalanan saya menerangkan beberapa lokasi sejarah kepada istri, seperti guide wisata yang sedang menemani rombongan wisatawan. “Itu sebelah kanan jalan makam Maulana Yusuf Banten,” kata saya sambil menunjuk kea rah gapura di sebelah kanan saya kepada istri.

Sementara itu, Ari dan Surya mengikuti kami di belakang tanpa tahu apa yang mereka bayangkan tentang kawasan Banten Lama. Maklum, mereka tergolong baru di Banten. Surya baru enam bulan sedangkan Ari baru satu bulan. Jarak sekira 300 meter dari Museum Kepurbakalaan tampak beberapa warga berdiri dipertigaan pintu masuk kawasan Banten Lama.

Merekalah yang mengatur masalah parkir kendaraan para pengunjung di kawasan tersebut. Sebelumnya, saya sempat menuturkan kepada istri agar mengaku akan silaturahmi ke salah satu teman yang rumahnya di belakang Masjid Agung Banten. “Maksudnya mah biar ga ditarik karcis parkir,” kata saya kepada istri sambil tertawa.

Senjata ini ternyata tidak berguna karena tanpa ditanya alasan apapun kami lolos, ternyata untuk kendaraan motor plat A tidak ditarik parkir rumangsa orang sendiri. Tampak puluhan kendaraan bus memenuhi area parkir kawasan tersebut meski masih terlihat sumpek, karena pedagang masih ada yang berjualan sembarangan. Kesan kumuh dan kurang nyaman masih saja terlihat meski agak berkurang jika dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika saya masih ditugaskan liputan di Kota Serang.

Lokasi yang kali pertama kami kunjungi adalah Museum Kepurbakalaan Banten Lama. Di tempat ini terdapat benda-benda peninggalan sejarah masa lalu Kesultanan Banten, seperti keramik, mata uang Banten, Meriam Ki Amuk, batu nisan kuburan Sukalila dan miniatur rumah suku pedalaman Baduy. Sebagian besar barang-barang bersejarah itu berada di balik kaca agar terhindar dari tangan-tangan jahil. Museum ini berada di depan masjid Agung Banten, tepatnya di depan benteng Surosowan. Tempat ini sering dikunjungi siswa sekolah dasar.

Sayang di museum ini tidak ada brosur yang bisa menerangkan tentang isi museum. Biaya masuk ke museum cuma Rp 1.000 untuk satu orang. Jejak Meriam Ki Amuk menurut buku berjudul Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII karangan Claude Guillot, terdapat pada plant Kota Banten yang dibuat sebelum pertengahan abad ke-17 dan kini tersimpan di Perpustakaan Castello di Firenze, Itali.

Masih menurut buku yang sama, meriam Ki Amuk ini sama dengan meriam Ki Jimat, sebuah hadiah dari Sultan Demak, Jawa Tengah, saat pernikahan Sultan Hasanudin yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528 SM. “Berarti dulu kawasan ini (Banten Lama-red) dulunya merupakan pusat perkotaan Banten sekaligus perekonomian . Tuh kayanya dulu di gapura itu banyak penjaga istana,” kata istri kepada saya sambil menunjuk ke salah satu gapura.

Konon, kerajaan Banten merupakan wilayah yang tidak tersentuh oleh penjajah Belanda karena saking kuatnya Sultan Hasanudin. Kehidupan ekonomi warganya makmur dan hubungan antar umat beragama berjalan baik. Terbukti, berdiri kokoh di sekitar istana sebuah vihara yang tergolong tua. Sampai sekarang vihara tersebut masih berdiri kokoh berhadapan dengan benteng Spelwijk.

Surga Wisata Seribu Warna

Suasana sore (16/8/2006) itu begitu cerah. Tak ada pemandangan yang luar biasa sepanjang perjalanan Serang hingga Saketi, Pandeglang. Namun, mulai dari Saketi hingga Malingping, dalam suasana yang mulai gelap, terlihat di kiri kanan jalan tumpukan kayu-kayu hutan siap angkut. Begitupun dengan lalu lalang kendaraan yang mulai didominasi truk-truk pengangkut kayu dengan laju begitu kencang. Sesekali sedan yang kami kendarai terpaksa minggir untuk menghindari kemungkinan tabrakan.

MALAM mulai merambat naik, tapi suasana pesta 17-an belum juga terasa. Nyaris tak ada keramaian di sepanjang jalan, kecuali rumah-rumah penduduk yang di depannya terpasang bendera merah putih. Suasana berubah ramai begitu kami memasuki Kecamatan Panggarangan.

Keramaian itu terpusat di depan Kantor Polsek Panggarangan. Rupanya ada lomba karoke dangdut yang diikuti anak-anak hingga remaja. Tentu, suasana ini sayang jika dilewati. Arif Kirdiat dari Optima Travel yang menjadi driver memutuskan berhenti sejenak untuk menyaksikan langsung kemeriahan malam pesta 17-an itu.

Saat itu tiga orang gadis kecil tengah tampil di atas panggung. Yang satu asyik menyanyikan sebuah lagu, sedangkan dua lagi berjoget meliuk-liuk bagaikan Inul Daratista yang tengah bergoyang ngebor. "Wah, ternyata di sini pun ada Inul ya," ungkap Arif sambil geleng-geleng kepala melihat kepiawaian ketiga gadis mungil itu meliuk-liuk mengikuti irama lagu dan musik dangdut.

Para penonton yang lumayan berjubel tak henti-hentinya bertepuk tangan memberi semangat kepada ketiga anak kecil seusia kelas dua SD tersebut. Pada saat bersamaan, di jalan yang juga ramai oleh puluhan kendaraan bermotor, melintas sepasukan siswa-siswi SMA dengan pakaian putih-putih. Mereka melangkah tegak meski dengan wajah telihat lelah.

Kehadiran pasukan 17-an itu rupanya tak membuat tertarik penonton. Apalagi begitu giliran yang tampil di panggung adalah gadis remaja dengan balutan pakaian ketat dan badan semampai. Perhatian penonton semakin tertuju kepada si gadis manis tersebut. Begitu musik mengalun, si gadis pun bergoyang sambil menyanyikan lagu dengan vokal lumayan merdu. Karuan, penonton bertepuk sambil bergoyang. "Boleh lah," kata Karnoto, anggota Tim Jelajah Banten dari LAZ Harfa mengomentari aksi biduanita tersebut.

Setengah jam berselang kami kembali melanjutkan perjalanan. Suasana kembali sepi. Terlebih setelah wilayah Kecamatan Malingping kami lewati, jalanan yang kami lalui begitu gelap dan pekat. Malah, sesekali kami jumpai binatang melata melintas. "Tuh lihat ada ular melintas," kata Arif sambil menunjuk ke arah ular berwarna belang. Selain ular, musang pun kerap kami jumpai.

Memasuki Kecamatan Bayah, suasana sepi semakin terasa. Hanya satu dua mobil saja yang berpapasan. "Yang kita lalui sekarang adalah pantai," ujar Arif memecah kesunyian.

Karena gelap, pantai Bayah yang terkenal dengan ketinggian ombaknya tak dapat kami saksikan, kecuali pohon-pohon kelapa yang seakan saling bekejaran dengan kami lantaran terosorot lampu kendaraan, serta sesekali terdengar bunyi deburan ombak. Setelah beberapa kali berkelok ke kiri dan ke kanan, kendaraan memasuki pintu gerbang kawasan Desa Sawarna.

Wajah Arif tiba-tiba berubah tegang dan cemas. Rupanya ia mengkhawatirkan hambatan yang kemungkinan bakal terjadi karena jalan menuju Desa Sawarna yang menjadi tujuan perjalanan lumayan terjal dan melintasi kawasan hutan. "Kayaknya kita harus segera berhenti karena jalan rusak," kata Arif.

Arif mengaku khawatir sedan yang dikendarainya tak akan mampu menembus hutan, apalagi jalannya yang terjal. "Yang saya takutkan bukan manusia, tapi binatang," aku Arif sambil menceritakan tentang monyet-monyet yang hidup di kawasan hutan jati.

Kami cukup beruntung. Jalan menuju Desa Sawarna yang kami perkirakan masih rusak ternyata sudah dihotmix. Kami pun lega. Tapi, rasa lega mendadak sirna begitu jalanan hotmix berubah terjal dan berbatu. Apalagi ketika harus melintasi penurunan yang sangat curam. Kami menahan nafas sambil mulut komat-kamit membaca doa. "Bismillah," kata Arif dengan pandangan mata penuh konsentrasi.

Dengan gigi dua kendaraan berjalan pelan. Sesekali rem diinjak untuk menghindari batu atau lubang serta kemungkinan tergelincir. "Alhamdulillah," kami berucap bersamaan begitu berhasil melalui turunan yang curam tersebut. Kendaraan kembali melaju lancar, apalagi jalanan kembali berhotmix.

Setelah itu, suasana desa wisata mulai terasa. Di sepanjang kiri kanan jalan berdiri rumah-rumah penduduk dengan pagar rapi bercat nyaris seragam, hijau telor. "Bagaimana kalau kita menginap di pesantren saja," Arif menyampaikan usulan.

"Ya, kayaknya enak menginap di kobongan (pondokan, pen) pesantren. Lebih asyik dan alami," jawab penulis. Kendaraan pun berhenti tepat di depan pesantren.

Suasana kobong masih ramai dengan aktivitas para santri yang sedang menggali tanah untuk dipasangi gapura yang terbuat dari kertas semen bertuliskan Selamat Hari Kemerdekaan RI. Kebetulan Pak Kiai tengah berada di kobongan.

"Assalamualaikum," ucap kami.

"Waalaikum salam, mau kemana ini? Mari silakan duduk," jawab Pak Kiai sambil mempersilakan kami memasuki kobongan.

"Sengaja datang ke sini Pak," ujar Arif.

Sikap ramah dan terbuka Pak Kiai dan para santri membuat suasana cair. Kami pun hanyut dalam obrolan ringan dan sesekali dibumbui gelak tawa. Apalagi ketika penulis menanyakan nama Pak Kiai.

"Bapak siapa namanya?" tanya saya.

"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil senyum.

Karena bingung tak tahu maksudnya, saya kembali bertanya, "Siapa Pak namanya?"

"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai penuh teka teki.

Beberapa saat terpana, Arif tiba-tiba tertawa. "Oo... Pak Zaenuddin," kata Arif.

"Ya nama saya Zaenuddin, tapi MZ-nya ketinggalan di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil tertawa.

Rupanya nama Pak Kiai itu sama dengan nama Kiai Sejuta Umat KH Zaenuddin MZ. Hanya, yang bersangkutan tidak memakai huruf MZ di belakang namanya.

Sesuai sholat isya di masjid yang terletak di samping kobongan, kami kembali melanjutkan obrolan. Dalam suasana yang santai dan akrab, Pak Zaenuddin banyak berkisah tentang kiprahnya selama ini, termasuk tentang semangat dan cita-citanya mengelola pesantren yang baru sebulan berdiri.

Di tengah perbincangan, muncul Mustofa, anak sang kiai. Dia pun ikut nimbrung dalam obrolan. "Ini Mustofa anak saya. Aktivitasnya selain mengajar honorer dia juga menjadi guide bagi wisatawan asing," ujar Pak Kiai mengenalkan anaknya.

Jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Setelah membuat janji dengan Mustofa untuk mengantarkan kami menjelajahi kawasan pantai dan beberapa gua, kami pamit tidur. Begitu juga Mustofa, pamit untuk pulang ke rumah. Sedangkan Pak Kiai melanjutkan aktivitas menulis. Entah, apa yang dia tulis.......

***

Pukul lima pagi kami bangun. Setelah solat Pak Kiai datang dan mengajak kami ke rumahnya. "Ayo, kita ke rumah dulu," ajaknya.

Di rumah yang sederhana itu kami disuguhi teh panas dengan panganan kripik pisang. "Ya, seperti inilah kondisi kami, seadanya. Jadi mohon maaf jika kami tidak bisa melayani dengan baik," kata Pak Kiai merendah.

"Sudah pak, ini juga lebih dari cukup. Apalagi kami diizinkan menginap di pesantren," ujar Arif.

Setelah mengobrol beberapa saat, kami pamit untuk persiapan melakukan perjalanan ke pantai. "Nanti, kalau ada apa-apa hubungi saja Mustofa, pagi ini saya juga akan ikut upacara bendera," kata Pak Kiai. Kami pun berkemas.

Pantai Ciantir adalah kawasan pantai yang hendak kami tuju. Untuk sampai di pantai yang terkenal sebagai tempat surfing itu, kami harus melintasi jembatan goyang dan melewati perkampungan penduduk.

Sekitar 200 meter dari pantai, tiba-tiba kami dihadapkan sebuah pemandangan unik. Di tengah kawasan berumput yang kami lalu, terlihat jejeran ban-ban yang dicat putih memanjang hingga mencapai ratusan meter. ’’Wah, ini sih lapangan udara," kata Arif, seraya bercerita ia pernah mendarat di bandara perintis di Pulau Kalimantan persis seperti yang dilihatnya di Sawarna.

Dugaan pun muncul. "Bisa jadi ini tempat pendaratan pesawat kecil yang dibuat para turis asing. Apa pemerintah sudah tahu ya," ujar Arif setengah bertanya.

Setelah mengamati sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tepat di bibir pantai berdiri Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan beberapa bangunan panggung mirip home stay. Sayang, pagi itu suasana TPI sedang sepi. "Nggak ada siapa-siapa di sana (di TPI)," ujar seorang pelintas yang berpapasan dengan kami.

Yang tragis adalah bangunan-bangunan mirip home stay itu. Selain tak berpenghuni, bangunan-bangunan tersebut sama sekali tidak terawat dan kumuh. Beberapa bagian bangunan mengelupas, atap pun banyak yang ambrol. "Padahal bangunan ini dibangun dengan dana APBD Provinsi," kata Arif sambil geleng-geleng kepala.

Setelah melihat-lihat sekeliling bangunan, kami menuju pantai. Selain pemandangannya yang indah dan asri, deburan ombak yang memecah sepi, serta sepanjang pantai berbatu karang dengan lumut hijaunya yang khas, semakin membuat kami tertarik mendekat. "Pantas saja banyak turis asing banyak yang datang ke sini. Habis indah sih," kata Karnoto.

Ketinggian ombak yang mencapai lebih dari dua meter memang membuat para petualang pantai asal Australia, Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia tertarik datang. "Bali dan Nias saja kalah. Sayangnya belum dikelola maksimal," kata Arif.

Selain ombaknya, karang luas yang menghampar di bibir pantai juga membuat keasyikan tersendiri bagi wisatawan. Sebab, di sela-sela karang itu banyak terdapat lubang besar yang membentuk kolam dengan ikan beraneka ragam. "Lihat tuh ikan apa itu," tunjuk Karnoto.

Di kawasan karang kami menjumpai seorang penangkap lobster. Ia tengah asyik menyiapkan umpan. "Dapat nggak Kang lobsternya," tanya penulis.

"Lumayanlah dapat dua," jawab pria yang mengaku bernama Jefri.

Dari obrolan dengannya, diketahui bahwa usaha penangkapan lobster ini cukup menjanjikan. Untuk satu kilo lobster saja dihargai 100 ribu rupiah. "Atuh ini mah bisa mengalahkan gaji pegawai negeri," kata Arif.

Puas berbincang dengan Jefri kami mengalihkan perhatian ke tengah pantai. Di tengah deburan ombak yang berkejaran, dua orang turis asing tengah asyik bersurfing ria. Sementara, nun di salah sudut pantai, empat orang bule tengah bersiap dengan alat surfing-nya.

Keempat bule itu kami datangi. "Hallo mister," sapa Arif.

"Hallo...!" kata salah seorang dari mereka.

Keempat bule itu adalah warga Australia. Mereka sengaja datang ke Sawarna khusus untuk surfing. Pantai Ciantir, Desa Sawarna, kendati belum dikelola maksimal, memang sudah cukup dikenal oleh para turis asing terutama dari Australia, khusunya bagi penggila surfing. Menurut Mustofa, guide lokal yang lancar berbahasa Inggris, para turis itu bisa tinggal di Sawarna antara satu hingga dua minggu.

Setelah berfoto bersama dan sedikit berbasa-basi, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Layar. Tanjung Layar adalah karang besar yang membentuk seperti bangunan kuno mirip peninggalan masa prasejarah. Suasana semakin eksotis manakala karang yang berdiri gagah itu dihantam ombak.

Puas menikmati keindahan Pantai Ciantir, kami memutuskan kembali ke kobongan untuk bertemu Mustofa.

***

Setelah mencari makan di warung, Mustofa dengan kaos hitam bergambar Desa Sawarna dipadu celana pendek dan spatu kets, muncul. "Darimana tadi?" tanya Mustofa.

"Habis dari pantai Kang," jawab Arif.

"Mau kemana sekarang, ke Gua Lalay atau Gua Lauk," tanya Mustofa memberi pilihan.

Kami memutuskan Gua Lauk sebagai objek jelajahan selanjutnya. Selain terkenal dengan pantainya, Desa Sawarna juga memiliki puluhan gua dengan suasana di dalamnya yang indah karena terdapat stalaknit hasil proses alam selama ratusan tahun yang membentuk berbagai ornamen alami. Apalagi jika stalaknit itu terkena cahaya senter atau obor, mampu memantulkan cahaya terang seperti intan. Gua-gua itu, tentu saja menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan.

Sesuai namanya, Gua Lalay dikenal sebagai tempat berkembangnya kelelawar yang dalam bahasa Sunda dinamakan lalay. Demikian juga dengan Gua Lauk yang berarti gua ikan. Gua ini dulunya dikenal sebagai tempat hidupnya berbagai jenis ikan khas air tawar. Sayangnya, ikan-ikan di gua tersebut kini amat jarang ditemukan.

Untuk menuju Gua Lauk, kami membutuhkan waktu hampir satu jam. Melintasi pemukiman penduduk, areal persawahan yang hijau, dan menyusuri sungai. Jalanan sesekali terjal, membuat nafas tersengal.

"Masih jauh nggak Kang," tanya penulis kepada Mustofa dengan nafas tersengal.

"Nggak, tuh guanya sudah kelihatan," jawab Mustofa. Padahal, gua itu sama sekali belum terlihat.

Setelah beberapa lama berjalan, kami pun tiba. Sepintas tak ada keistimewaan, kecuali sebentuk karang besar yang membentuk lobang tempat mengalir air. "Kita naik dulu ke atas. Dari situ kita masuk gua," ujar Mustofa sambil menyiapkan obor dan pandangan mata menuju ke arah bukit.

"Ayo kita naik," kata Mustofa lagi. Kami pun naik ke atas.

Tiba di atas bukit, seisi gua menjadi jelas terlihat. Sayang keindahan gua ini tercoreng oleh aksi-aksi vandalisme para pengunjung. Beberapa bongkahan stalaknit juga terlihat di beberapa lokasi. "Biasa, ada saja pengunjung yang mengambil stalaknit," Mustofa menerangkan.

Bisa dimaklumi jika ada tangan jahil mengambil paksa stalaknit-stalaknit itu. Selain bentuknya bagus seperti hasil pahatan, jika terkena sinar bisa memantulkan cahaya. Dipandu Mustofa dengan kedua tangannya memegang obor, kami memasuki gua. Sungguh, luar biasa indahnya pemandangan di dalam.

Jika tidak hati-hati, pengunjung yang masuk ke gua bisa celaka. Selain gelap, stalaknit yang menancap kokoh di dalam gua bisa membuat luka di tubuh. Begitu juga jalan yang licin akibat tanah lembab. Belum lagi adanya binatang melata seperti ular. "Kalau ular tanah nggak ada. Paling ular sanca," kata Mustofa.

Puas mengelilingi beberapa bagian gua, kamu memutuskan masuk ke terowongan tempat air mengalir. Awalnya tak seberapa dalam, tapi begitu masuk semakin ke dalam, air pun semakin dalam saja hingga setengah badan. "Kita kembali saja," kata penulis karena ngeri membayangkan gua tiba-tiba runtuh.

Kami putar haluan dan memilih jalur lain untuk keluar. "Alhamdulillah akhirnya kembali," ungkap Karnoto.

"Luar biasa, Tuhan memang tak pernah sia-sia menciptakan segala sesuatu," ujar Arif kagum atas pemandangan di dalam gua.

Sebelum pulang, Mustofa mengambil inisiatif untuk mengambil kelapa muda dari pohonnya langsung. Tak berapa lama, Mustofa kembali dengan empat butir kelapa muda. Tangannya begitu trampil mengupas kelapa muda itu. "Srupppp...," air kelapa pun berpindah dari batoknya ke tenggorokan.

Setelah istirahat sejenak kami berkemas.

***

Tiba di pesantren kami disambut Pak Kiai Zaenuddin. "Gimana dengan Gua Lauknya. Saya yang orang sini malah sama sekali belum pernah ke sana," aku Pak Kiai yang telah berusia setengah abad lebih ini.

Selepas solat duhur dan istirahat sejenak, kami pamitan pulang. Namun sebelumnya kami mampir terlebih dahulu ke makam Van Gogh. Namanya sama dengan Van Gogh pelukis terkenal asal Belanda yang legendaris itu, dan kabarnya, Van Gogh ini adalah adik Van Gogh sang pelukis. Entahlah. Sayang, batu tulisan di nisan yang menerangkan tanggal kelahiran dan kematian bangsa Belanda itu sudah rusak dicongkel tangan jahil.

Desa Sawarna memang memiliki catatan sejarah lumayan panjang. Kendati berada di lokasi yang nyaris terisolir, desa seribu warna dan makna ini dulunya adalah kawasan perkebunan yang dikelola bangsa Belanda. Karena itu, tak heran bila terdapat makam orang Belanda, dan masyarakatnya pun begitu terbuka menerima kehadiran orang-orang asing.

Di samping itu, Desa Sawarna juga dikenal sebagai tempat kerajinan gitar dengan kualitas tinggi. Saking kondangnya, musisi sekelas Iwan Fals pun memesan gitar secara khusus kepada sang empu, Bapak Hudaya.

Sayang, kawasan wisata yang tak kalah dengan Bali ini belum dikelola dengan baik. Kalau tidak diantisipasi, penduduk di kawasan ini bisa menjadi tamu di kampungnya lantaran banyak orang asing yang tertarik memiliki tanah di sana. Adanya ’bandara’ dan vila milik orang asing adalah bukti kawasan itu menjadi incaran.***

Ditulis oleh Abdul Malik, mantan wartawan Radar Banten (orang yang mengajari saya menulis)

Catatan: Dimuat di Radar Banten edisi Selasa 22 Agustus 2006

Warga Baduy Dalam Rayakan Tradisi Kawalu

Warga komunitas suku Baduy Dalam di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Jumat (5/3/2010), merayakan tradisi kawalu kedua atau "bulan karo" penuh sederhana karena belum seluruhnya warga musim panen padi huma.

"Perayaan ini penuh khusyuk dan berdoa meminta kondisi negara aman, damai, dan sejahtera," kata Sekretaris Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Sarpin, saat dihubungi di Rangkasbitung.

Sarpin mengatakan, perayaan kawalu bagi warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo dan Cikawartana, Desa Kanekes, sedangkan Kampung Cikeusik sudah merayakan pada hari Kamis (4/3/2010).

Ketiga perkampungan Baduy Dalam tersebut digelar dengan penuh sederhana.

Warga merayakannya dengan penuh khidmat dan khusyuk sambil berdoa meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. "Kalau negara ini aman dan damai tentu masyarakat akan sejahtera," katanya.

Dia meminta selama kawalu berlangsung, pengunjung dilarang masuk ke perkampungan Baduy Dalam karena sedang melaksanakan ibadah setelah puasa seharian.

Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya sebagai aparat pemerintah telah memasang peringatan di pintu gerbang Baduy di Ciboleger agar pengunjung menaati hukum adat.

Sebab, tradisi kawalu merupakan keputusan adat yang harus dilaksanakan setiap tahun, dirayakan tiga kali selama tiga bulan dengan puasa seharian.

Perayaan kawalu merupakan salah satu tradisi ritual yang dipercaya oleh warga Baduy Dalam sehingga perlu menghargai dan menghormati keyakinan agama yang dianut mereka.

"Selama melaksanakan kawalu, kondisi kampung Baduy Dalam sepi karena mereka berpuasa dan banyak memilih tinggal di rumah-rumah," katanya.

Wakil Lembaga Hukum Adat Baduy Dalam, Ayah Mursid, mengaku, pihaknya memohon maaf karena selama perayaan kawalu perkampungan Baduy Dalam meliputi Cikawartana, Cikeusik, dan Cibeo tertutup bagi pengunjung, sekalipun itu pejabat daerah ataupun pejabat negara. "Kami menjalankan kawalu karena peninggalan adat dan harus ditaati," katanya.

Menurut dia, setelah berakhir perayaan kawalu, tentu pengunjung kembali diperbolehkan mendatangi kawasan Baduy Dalam.

Dia menjelaskan, setelah kawalu, satu bulan yang akan datang merayakan acara Seba dengan mendatangi bupati dan Gubernur Banten dengan membawa hasil-hasil bumi (pertanian). "Saat ini sebagian warga Baduy sudah panen padi huma," katanya.

Dia menambahkan, perayaan Seba itu sebagai salah satu bentuk silaturahim yang harus dijalin dengan baik kepada pemerintah. [sumber: www.kompas.com]

Jiwa Mandiri Bertumbuh di Baduy

”Punten sakarang tos nape di mana? Sakarang diatosan di kurayni sakarang diatosan”

Sebaris kalimat itu muncul di layar ponsel ketika mobil yang kami tumpangi sedang dalam perjalanan menuju perkampungan Baduy Banten, Senin (15/3). Pengirimnya seorang warga Baduy Luar yang hendak memandu kami.

Ternyata telepon genggam pun kini telah masuk dan dimanfaatkan sebagian warga Baduy Dalam di Kampung Cipaler, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, meski banyak di antaranya masih secara sembunyi-sembunyi.

Terlepas dari adanya pengulangan dan salah ketik dalam pesan tersebut—semisal diantosan ditulis dengan diatosan, dan Kuranji ditulis kurayni—pengiriman pesan secara tertulis tersebut sedikit mengagetkan. Itu karena sering dikabarkan bahwa warga Baduy tak pernah bersekolah, sebab secara adat memang dilarang. Lalu bagaimana cara mereka bisa baca tulis?

Ketika hal ini ditanyakan, beberapa warga hanya tersenyum dan menggumam, seperti malu-malu, bahwa kemampuan membaca itu mereka pelajari sendiri saja.

Barulah kemudian dari Lilik (30), seorang warga Kampung Kaduketug yang memiliki warung didapat jawaban lebih terang. Mereka belajar membaca secara mandiri dengan mencermati bungkus rokok dan kemasan makanan minuman yang ada mereknya. ”Misalnya ada rokok merek Gentong. Kami ingat-ingat kalau Gentong itu tulisan g-nya seperti itu, e-nya seperti itu,” katanya. Huruf-huruf itu mereka banding-bandingkan dengan yang ada di merek lain. Mereka ingat-ingat bentuk huruf itu. Dunia aksara pun terbuka untuk mereka.

Belajar sendiri dengan cara ini jelas butuh waktu. Lilik butuh waktu belajar hingga tiga tahun. Menurut penjelasannya, keinginan bisa membaca itu tumbuh dari dirinya sendiri ketika ia berumur 13 tahun.

Dengan bisa baca tulis, Lilik pun mampu membaca nota. ”Kalau beli barang-barang di Rangkas (Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak) jadi mudah. Menghitung uang pun bisa,” kata lelaki yang dalam sebulan bisa empat kali ke Rangkas untuk kulakan barang ini.

Namun, sama halnya dengan dirinya yang tak dipaksa untuk belajar agar bisa membaca, Lilik pun tak mau memaksa anaknya segera bisa membaca. Ia membiarkan keinginan untuk membaca itu tumbuh sendiri. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bangga ketika sejurus kemudian ia berkisah bahwa anaknya sudah bisa menulis huruf penyusun namanya ketika masih berumur 8 tahun. ”Saya ajari dikit-dikit pas ia mau,” kata Lilik yang juga mengaku bisa mengakses internet lewat ponsel atau warnet di luar perkampungan Baduy ini.

Kemampuan membaca secara otodidak ini hanya satu dari sekian kemandirian yang dimiliki warga Baduy. Rumah dan jalan-jalan yang ada di dalam permukiman Baduy mereka bangun sendiri tanpa bantuan dari luar. ”Kecuali kalau ada musibah, seperti kebakaran beberapa waktu lalu, kami mau dibantu. Tapi seperlunya saja,” kata Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes.

Sejauh bisa ditangani, warga Baduy akan mengerjakan sendiri pemenuhan kebutuhannya. Untuk membangun rumah pun mereka menggunakan bahan yang banyak terdapat di sekitar, mulai dari kayu, bambu, hingga daun-daun sebagai atapnya.

Kebutuhan makan pun dicukupi dari hasil panenan padi di ladang. Baru ketika hasilnya tidak cukup, mereka membeli beras dari luar. Sayuran pun berlimpah. Akan halnya barang seperti garam atau ikan asin, dapat pula mereka beli dengan uang hasil penjualan hasil kebun seperti buah-buahan.

Ini pula yang dilakukan Idong, warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo. Dengan berjalan kaki, turun naik bukit, ia memikul 14 butir durian untuk dijual ke Pasar Ciboleger. Satu butir durian dijualnya Rp 10.000.

Di hari lain, warga dapat pula menjual hasil bumi seperti petai yang kini per biji laku dijual Rp 500, atau pisang yang per sisir Rp 5.000. Kearifan warga Baduy menjaga alam terbayar dengan banyaknya sumber rezeki di lingkungan sekitar yang dapat dimanfaatkan warga.

Hari-hari Asti (40), warga Cipaler, misalnya, diisi kegiatan mencari lahan untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi ia membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan.

Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dia cetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000.

Begitu fajar merekah, entakan alat tenun pun terdengar dari seantero kampung. Di salah satu rumah, Ambu Amin, perempuan yang menilik dari kerut wajahnya berusia di atas 60 tahun, masih tekun menenun benang untuk dijadikannya kain.

Di rumah lainnya, Sarni yang masih berusia 10 tahun pun mulai belajar menenun dari bibinya. Disebabkan masih belia, Sarni pun hanya ditugasi membuat tenunan ukuran kecil, yakni selendang. Keterampilan menenun bagi masyarakat Baduy diwariskan turun-temurun. Di antara mereka saling mengajari, sehingga sampai kini pun mudah ditemui alat tenun di banyak rumah warga.

”Dulu untuk mewarnai kain agar hitam dipakai kulit jengkol. Kalau sekarang sudah memakai pewarna buatan,” kata Sarmidi, warga yang berprofesi sebagai tukang celup tenun.

Selain faktor keawetan warna dari kelunturan, mulai sedikitnya pohon jengkol merupakan salah satu penyebab beralihnya jenis pewarna tenun.

Sama halnya dengan keterampilan menenun, kemampuan Sarmidi untuk mencelup pun diwarisi dari orangtuanya. Hal yang sama terjadi di ladang ketika kemampuan bercocok tanam pun diperkenalkan kepada anak-anak yang sering kali ikut berladang. Pola seperti ini menjamin beragam keterampilan bisa dipelajari secara mandiri di dalam lingkungan Baduy untuk akhirnya bisa lestari hingga kini.

Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja mengatakan kemadirian mereka adalah bentuk pendidikan yang dimiliki masyarakat Baduy.

Meski tidak mengeyam pendidikan formal, mereka memiliki bekal untuk hidup dengan aktivitas yang rutin mereka jalani setiap hari.

Istirahat Batin di Baduy

Jika ingin istirahat batin dengan cara menjauh sejenak dari kehidupan modern yang serba praktis, menetaplah beberapa hari di kampung Baduy yang menolak listrik hingga saat ini. Tanpa listrik membuat suasana kampung pada malam hari menjadi gelap gulita dan senyap tanpa suara, tetapi memberikan rasa tenang dan kedamaian.

Tak sulit menjangkau kawasan permukiman Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, karena jaraknya hanya 130 kilometer dari Kota Jakarta. Perkampungan ini sangat tepat untuk menjadi oase bagi warga yang hendak menghilangkan kepenatan suasana kota besar yang penuh dengan kebisingan dan polusi.

Sebagai perkampungan yang warganya masih memegang teguh peraturan adat, Kampung Baduy sangat tenang dan damai. Sepanjang hari kita hanya akan menikmati dering tonggeret, kicau burung, dan gemercik air yang dipelihara warga sebagai sumber kehidupan.

Kalaupun terdengar suara, itu juga suara dari aktivitas warga yang tengah memainkan peralatan tenun atau suara alu dan lesung warga yang tengah menumbuk kopi atau padi. Suara itu biasanya nyaring terdengar pada pagi hari saat kaum perempuan Baduy melakukan aktivitas di rumah sebelum berangkat ke ladang.

Ketenangan dan keasrian di dalam perkampungan Baduy terlihat dari jalan beralas batu-batuan. Jalan tersebut ditata rapi, termasuk juga susunan batu untuk menguatkan tebing di sejumlah sudut permukiman. Lumut yang menyelimuti bebatuan itu memberi kesan hijau, sekaligus kuno. Ditambah kabut yang turun di perkampungan itu sehingga memberikan suasana batin yang nyaman.

Pada malam hari, ketika tidak ada mendung, perkampungan Baduy bisa menjadi tempat ideal menikmati bintang di langit. Di perkampungan Baduy, yang gelap karena ketiadaan listrik, setiap warga atau pelancong bisa melihat bintang.

Asyiknya lagi ketika hari mulai merambat malam, para pelancong bisa menikmati merdunya suara jangkrik, serangga lain, dan burung hantu.

Banyak alternatif

Apabila Anda tertarik mengunjungi Baduy, tidak perlu khawatir. Banyak jalan menuju ke kampung alam tersebut. Salah satunya adalah melewati Tol Jakarta-Merak, lalu berbelok ke arah Rangkasbitung. Selain itu ada jalan alternatif lainnya, yakni melalui pintu tol di Balaraja, kemudian meniti ruas Jalan Cikande. Bisa juga lewat pintu Tol Serang Timur, kemudian mengambil jalan ke arah Rangkasbitung.

Namun, jika Anda tak ingin berkendaraan, bisa menggunakan transportasi kereta. Naik kereta dari Jakarta menuju Stasiun Rangkasbitung. Turun di Stasiun Rangkasbitung, kemudian naik kendaraan ke arah kawasan wisata budaya Baduy.

Tak perlu khawatir untuk tersesat karena Anda bisa bertanya kepada warga di sepanjang jalan. Mereka umumnya sangat terbuka untuk membantu menunjukkan arah ke Baduy.

Untuk memasuki permukiman Baduy, warga disarankan terlebih dulu melaporkan kedatangannya ke Jaro (Kepala Desa) Kanekes, yang saat ini dijabat Dainah. Lokasi rumah Jaro Kanekes ini ada di Kampung Kaduketug, sekitar 300 meter dari Terminal Ciboleger, yang menjadi tempat akhir kendaraan rute Rangkasbitung-Ciboleger.

Ada sejumlah agen perjalanan dan wisata yang melayani perjalanan ke Baduy. Namun, bagi yang datang secara pribadi atau keluarga, bisa meminta bantuan dari pemandu setempat, yang dapat ditemui di sekitar Terminal Ciboleger.

Pemandu setempat memiliki kelebihan, terutama karena lebih mengenal seluk-beluk medan dan kenal dengan banyak warga Baduy. Selain itu, mereka pun fasih berbahasa Sunda sehingga dapat memperlancar komunikasi dengan warga Baduy.

”Agen yang membawa turis asing pun sering melibatkan kami. Jadi, pemandu dari Jakarta atau yang ada di sini sama saja pengetahuannya,” kata Agus Bule, seorang pemandu.

Selain rumah singgah, pengunjung pun dapat menginap di rumah-rumah penduduk. Tentunya dengan lebih dahulu melaporkan keberadaannya kepada Jaro.

Khusus untuk kebutuhan makan harian, para pengunjung dapat makan di rumah warga. Biayanya tergantung kerelaan masing-masing pihak. Namun, terbuka kemungkinan pengunjung membawa bahan makanan mentah, seperti beras, ikan asin, telur asin, dan sebagainya. Bahan mentah itu kemudian diserahkan kepada pemilik rumah untuk diolah dan disantap bersama tuan rumah.

Namun, hal lain yang juga mesti diperhatikan adalah soal kamar mandi untuk keperluan ke belakang. Jangan bayangkan senikmat di hotel, losmen, atau rumah kita. Mengingat kampung ini masih tradisional, kondisi MCK sangat jauh dari nyaman. Di salah satu rumah warga Baduy Luar, tempat kami menginap, misalnya, untuk buang air besar atau kecil masih menggunakan bambu panjang untuk mengalirkan kotoran buangan ke arah tebing di belakang rumah. Namun, untuk sebuah petualangan alami, tentunya tetap menarik, kan?

Mandiri pada sandang

Namun, selama menelusuri wisata Baduy ini ada sesuatu yang menarik untuk dipelajari, yakni bagaimana warga Baduy menjadi masyarakat mandiri. Mereka bukan hanya mampu menjaga adat istiadat secara kuat, melainkan juga bisa menyediakan kebutuhan mereka sendiri, mulai dari baju, makan, sampai kebutuhan hidup lainnya.

Ada sensasi tersendiri ketika melihat pembuatan tenun khas Baduy. Pengunjung bisa melihat proses pemintalan benang hingga tenun. Pengunjung pun dapat melihat proses pemotongan, pencelupan, dan penjemuran ketika membuat baju jamang.

”Khusus jahit, biasanya kain yang telah dipotong dibawa ke Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dalam punya metode sendiri ketika menjahitnya,” ujar Sarmidi, warga setempat.

Hasilnya berupa baju pangsi warna hitam dan putih, selendang, syal, serta sarung. Dalam acara adat, warga Baduy menggunakan beberapa hasil tenunan itu. Pengunjung yang berminat bisa membelinya langsung dari warga setempat dengan harga bervariasi.

Baju lengan panjang warna hitam yang lazim disebut jamang dijual Rp 65.000, syal Rp 40.000, ikat kepala Rp 45.000, atau sarung Rp 60.000. Ada juga tas dan gelang dari anyaman kulit kayu teureup yang dijual Rp 60.000 dan Rp 10.000. Pengunjung pun bisa membeli madu hutan asli dengan harga Rp 60.000 ukuran 1 liter dan Rp 30.000 ukuran 0,5 liter.

Bila ingin mendapatkan oleh-oleh lainnya, pengunjung juga bisa mengunjungi pasar khusus di Terminal Ciboleger. Kios-kios ini biasanya dikelola oleh masyarakat luar Baduy, yang tinggal di sekitar permukiman Baduy. Di sana dijual kaus bertema Baduy, topi bundar yang biasa digunakan untuk berladang, tas dari karung, hingga golok. [sumber: www.kompas.com]

Baduy, "Negara" Tanpa Kelaparan

Punggung Gunung Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Selasa (16/3) pagi, berangsur terang ketika matahari menyembul di langit timur. Udara masih dingin ketika satu demi satu warga mulai keluar dari pintu rumahnya.

Aktivitas pagi masyarakat Baduy pun kembali berjalan. Asap keluar dari atap rumah warga, pertanda perempuan Baduy mempersiapkan makan dan bekal buat ke ladang. Sebagian perempuan lainnya menumbuk bulir padi dan biji kopi. Setelah semua beres, mereka bersama suami dan anak-anak berangkat ke ladang. Sementara perempuan yang tinggal di rumah mulai dengan aktivitas menenun.

Dari kejauhan di pinggir kampung, seorang lelaki berbaju putih terlihat memikul buntalan mendaki jalan setapak yang menanjak di Kampung Cipaler. Lelaki bernama Idong itu hendak pulang ke Desa Cibeo setelah malam sebelumnya menginap di Ciboleger untuk menjual buah.

Baju putih yang dia kenakan adalah pakaian khas warga Baduy Dalam, yang tinggal di tiga kampung di Kanekes; yakni Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.

Tak berselang lama, satu keluarga yang kesemuanya berpakaian hitam bergegas hendak ke ladang. Mereka adalah bagian dari masyarakat Baduy Luar yang tinggal di 56 kampung di Kanekes. Baju hitam adalah salah satu ciri khas pakaian mereka.

Sepintas Desa Kanekes yang hingga Maret 2010 dihuni 11.175 jiwa warga Baduy ini tak beda dengan desa-desa lainnya. Mereka tinggal di rumah panggung, lantainya berada sekitar 50 sentimeter di atas tanah. Dindingnya bambu, atapnya anyaman daun kelapa.

Sejumlah literatur menyebut orang Baduy keturunan pengikut Kerajaan Padjadjaran dan mereka penduduk asli yang sangat perhatian terhadap lingkungan.

Kekhasan permukiman Baduy terlihat dari bentuk rumah yang nyaris seragam. Hanya ada sedikit ruang yang tersisa antarbangunan rumah, sedangkan rumah-rumah Baduy umumnya tidak berjendela. Rumah mereka juga tidak memiliki jaringan listrik karena adat menabukan listrik.

Aturan adat berlandaskan nilai-nilai adat moyang mereka, yaitu tradisi Sunda Wiwitan. Tradisi itu menjadi pegangan dan pengetahuan masyarakat Baduy. Hingga saat ini adat tersebut masih tetap dijaga.

Termasuk pula di antaranya falsafah yang tergambar dalam peribahasa Baduy, Lojor teu menuang dipotong, pondok teu menang disambung, kurang teu menang ditambah, leuwih teu menang dikurang. Arti harfiahnya adalah ”panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, kurang tidak boleh ditambah, dan lebih tidak boleh dikurang”.

Sampai sekarang masyarakat Baduy Dalam masih berjalan kaki ke mana pun mereka pergi, termasuk hingga ke Jakarta. Lain halnya dengan masyarakat di perkampungan Baduy Luar yang sudah mau naik ojek atau mobil angkutan antarkota ketika bepergian agak jauh dari desanya.

”Masyarakat Baduy tidak ada yang terlihat kaya, tapi juga tidak ada yang miskin. Di sini tidak ada pengangguran ataupun kelaparan,” ujar Jaro Pamarentahan (Kepala Pemerintahan) Baduy Dainah.

Meski banyak yang berprofesi sebagai perajin kain tenun, penjual gula aren, atau memiliki warung penjual barang kebutuhan keluarga sehari-hari, warga Baduy selalu menganggap bahwa berladang adalah pekerjaan utama dan kewajiban.

Dalam berladang, mereka memiliki kebiasaan yang dijalankan turun-temurun. Mereka antimenggunakan pupuk pabrikan dan senyawa kimia pembasmi hama dan gulma. Warga Baduy Dalam hingga sekarang bahkan masih menabukan mandi menggunakan sabun dan sampo. Hal-hal semacam ini menghindarkan lingkungan, yang menjadi tempat mereka menggantungkan pendapatan harian mereka, dari pencemaran.

Hingga sekarang pun mereka kukuh mempertahankan kawasan hutan dan tak hendak mengubahnya untuk kepentingan lain. ”Dari 5.136,8 hektar (ha) kawasan di Baduy, sekitar 3.000 hektar dipertahankan sebagai hutan untuk menjaga 120 titik mata air,” kata Jaro Dainah.

Ketika jumlah warga terus bertambah, kebutuhan ladang untuk bertanam padi pun meningkat. Alih-alih mengubah hutan lindung untuk ladang, sebagian warga Baduy lebih memilih membeli tanah di luar kawasan Baduy. Setidaknya 700 hektar ladang di luar kawasan Baduy saat ini dimiliki warga. ”Selain itu, juga banyak yang menyewa, lebih luas lagi dibandingkan yang sudah dibeli warga,” ujar Jaro Dainah. Sistem bagi hasil dilakukan antara warga Baduy yang menyewa serta menggarap ladang dan pemilik tanah.

Sekitar tahun 1980-an, tanaman albasia pun mulai banyak ditanam warga Baduy. Sekarang pun tanaman albasia yang bibitnya mulai ditanam di sela-sela padi ladang ini dipetik hasilnya oleh warga Baduy setiap lima tahun sekali ketika ladang selesai di-beura, dibiarkan tidak ditanami setelah lewat tiga kali musim panen.

Kayu albasia hasil budidaya ini biasa dijual warga kepada bos pengumpul, yang sebagian juga orang Baduy, untuk kemudian dikirim ke pembeli di luar daerah. Sebatang kayu albasia umur lima tahun bisa laku Rp 100.000. Rata-rata sekali memanen albasia di ladang miliknya tiap orang bisa mengantongi penjualan Rp 5 juta-Rp 15 juta.

Keseharian warga dalam bekerja itu berjalan dalam bingkai adat yang terjaga. Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran Johan Iskandar mengatakan, Baduy mengenal dua sistem pemerintahan: nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia dan adat yang mengikuti adat istiadat.

Secara nasional, di Baduy ada Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes yang kini dijabat Dainah. Sementara itu, pimpinan adat tertinggi masyarakat Baduy dipegang oleh tiga puun yang tinggal di tiga tempat Baduy Dalam. Puun Cikeusik mengurus keagamaan, Puun Cibeo mengatur hubungan dengan daerah luar, serta Puun Cikertawana mengurus pembinaan warga, kesejahteraan, dan keamanan masyarakat Baduy.

Dalam kehidupan sehari-hari, tingkah laku puun diatur ketat. Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja menjelaskan, puun harus mengayomi masyarakat Baduy.

Ia mengatakan, puun harus mengayomi masyarakat Baduy dari dalam. Bahkan, hingga kepemilikan rumah, puun harus memiliki rumah paling sederhana. Mampu melayani masyarakatnya dengan baik adalah penghargaan terbesar seorang puun di Baduy.

”Inilah figur pemimpin sebenarnya. Masyarakat adat Baduy ibaratnya negara sejahtera ideal,” kata Kusnaka.

Masa kekuasaan seorang puun tak pernah dibatasi aturan adat. Namun, seorang puun yang sudah merasa tak sanggup menjalankan amanah bisa meminta untuk segera diganti.

Selain itu, pergantian seorang puun juga tergantung dari kondisi alam. Jika sering muncul bencana alam yang menimpa warga Baduy atau panen rakyat gagal terus, menjadi alasan kuat untuk turunnya seorang puun. Warga Baduy meyakini keberhasilan pemimpin berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain, mereka juga dikenal sebagai komunitas mandiri yang menghidupi diri sendiri, tetapi melimpahkan rezeki bagi warga sekitar mereka.

Mahfudin, warga Kampung Cicakal, yang berada di luar kawasan Baduy, misalnya, tiap minggu pasti memboncengkan penumpang yang hendak berkunjung ke Baduy. Sekali mengantar dari Desa Kuranji ke Parigi, dia memperoleh Rp 30.000.

Hila, seorang pemilik toko di kawasan Ciboleger, pun dapat mencari rezeki dengan menjual kerajinan dan kain khas Baduy kepada pengunjung. ”Kalau pas ramai pengunjung, seperti akhir pekan atau ketika liburan sekolah, per hari bisa ratusan ribu rupiah,” katanya.

Warga Baduy membuktikan bahwa ada korelasi antara alam yang terjaga dan kehidupan yang sejahtera, bagi mereka dan bagi warga di sekitarnya.[sumber: www.kompas.com]

Tips Wisata ke Baduy

SELAIN mempersiapkan fisik jika ingin menginap di Kampung Baduy, kita juga harus siap untuk menghormati dan mematuhi peraturan adat yang berlaku di kawasan ulayat masyarakat Baduy. Paling tidak mematuhi peraturan yang dibuat Jaro (Kepala Desa) Kanekes, Dainah, bagi pendatang yang akan memasuki wilayahnya.

Aturan bagi pendatang antara lain larangan membawa tape atau radio, tidak membawa gitar, tidak membawa senapan angin, tidak menangkap atau membunuh binatang, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon, tidak meninggalkan api di hutan, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, dan tidak melanggar norma susila.

Khusus untuk warga asing, diharamkan untuk masuk ke wilayah Baduy Dalam yang warganya selalu berpakaian putih, yakni wilayah Kampung Cibep-Cikartawana-Cikeusik. Orang asing hanya diizinkan masuk hingga ke wilayah Baduy Luar yang warganya selalu berpakaian hitam.

Sementara itu, pada bulan Kawalu (masa panen tiga bulan berturut-turut pada bulan Februari hingga April), Baduy Dalam ditutup sama sekali untuk semua orang luar. Namun, bagi pengunjung pada bulan Kawalu tetap bisa bertemu dengan warga Baduy Dalam saat keluar dari kampung mereka.

Adat Baduy yang sangat membatasi sentuhan dengan dunia modern, terutama pada listrik, dan peralatan elektronik lainnya juga memaksa pengunjung yang akan menginap harus melengkapi peralatan yang relatif banyak, terutama membawa senter untuk memudahkan saat ke kamar kecil pada malam hari.

Jaket cukup membantu untuk mengusir hawa dingin di perkampungan Baduy yang memiliki ketinggian di atas 500 meter di atas permukaan laut ini. Kantong tidur pun tidak ada salahnya dibawa untuk membantu menghangatkan badan ketika tidur pada malam hari.

Malam di Baduy sangat dingin. Rasa dingin itu sangat menusuk tulang karena warga Baduy tidurnya di lantai panggung, bukan di atas dipan. Angin tidak hanya dirasakan dari embusan di atas, tetapi juga dari bawah rumah panggung. yang masuk dari sela dinding bilik bambu.

Apabila datang ke Baduy di musim hujan, pengunjung sebaiknya menggunakan alas kaki yang cocok dipakai di tanah licin dan berlumpur. Sepatu atau sandal gunung direkomendasikan untuk dipakai karena solnya telah didesain mampu ”mencengkeram” ketika berpijak sehingga tidak mudah tergelincir, apalagi di jalan menanjak.

Jangan lupakan pula jaket atau jas hujan dan tudung tas yang kedap air untuk melindungi barang bawaan agar tidak basah. Minyak antinyamuk silakan pula dibawa untuk menghalau serangga tersebut, terutama ketika kita hendak berjalan-jalan ke hutan atau perladangan Baduy.

Apabila kita menginap di perkampungan Baduy Luar, kita bisa menggunakan sabun atau sampo ketika mandi. Di Baduy Dalam kedua benda itu pantang dipakai. Obat-obatan pribadi harus dibawa, terlebih karena di dalam perkampungan Baduy tidak ada puskesmas atau apotek. Jadi, kalau sudah siap masuk ke kawasan Baduy, jangan lupa menyelesaikan segala urusan di kota terlebih dahulu karena akan sulit mendapatkan sinyal telepon seluler. [sumber: www.kompas.com]