Shalat di Bali, Suasana Peperangan


Gemuruh suara pesawat di atas masjid mengingatkan saya akan saudara muslim di Palestina, yang dijajah oleh zionis Israel. Batinku bergetar dan pikiran menerawang ke negeri Al-Aqsa itu.



OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA


Suasana inilah yang saya rasakan ketika shalat Jumat di Masjid Nurul Huda, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Jumat (25/3) tahun 2010. Masjid ini berdekatan dengan Bandara Ngurah Rai, tepatnya berada di patung Gatot Kaca di bundaran salah satu sudut kota di Badung. Di samping kiri masjid berdiri gereja, sedangkan di depannya terdapat pura. Ketiga tempat ibadah ini berada dalam satu kawasan tidak diskat apapun. Menurut Imade Dwi, guide yang menemani kami selama berada di Bali, hadirnya masjid, geraja dan pura dalam satu kawasan itu menggambarkan bahwa toleransi antar umat beragama di Bali kuat. “Kalau ada Nyepi, umat yang lain menghargai. Demikian pula kalau umat muslim puasa di bulan ramadhan, umat hindu menghargai. Jadi, tidak ada istilah kuat-kuatan di sini, saling menghargai kepercayaan dan menjaga suasana damai itulah modal Bali sehingga tidak terjadai kerusuhan,” tutu Imade kepada saya.


Pengamatan saya, masjid ini hanya mampu menampung jamaah sekira 300 orang. Namun demikian, sarana wudlunya hanya ada enam kran dan empat WC. Setiap kita shalat di masjid ini maka dalam beberapa menit akan selalu mendengar gemuruh pesawat. Suaranya keras, seolah-olah hanya berjarak 10 meter dari masjid tersebut sehingga mirip suasana perang. Suasana itu saya rasakan ketika shalat Jumat di masjid ini. Ketika itu saya membayangkan suasana shalat Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman dan para mujahid di Palestina yang dijajah zionis Israel.



“Hidup dalam suasana perang mungkin akan merasakan shalat seperti ini,” gumam saya dalam batin saya mendengar gemuruh pesawat saat takbirotul ikhrom. Inilah kali pertama saya mengunjungi pulau dewata, Bali, daerah yang penduduknya memiliki karakater kuat meski menjadi persinggahan para turis asing. Di Bali, saya juga menemukan gambaran umum bagaimana kehidupan beragama. Alangkah indahnya ketika kerukunan dan saling mengerti menjadi bingkai kehidupan penduduk di Bali. Jembatan pengertian inilah yang membuat Bali bertahan dari kerusuhan dan hingar bingar penjarahan. ***

0 Response to "Shalat di Bali, Suasana Peperangan"