Jiwa Mandiri Bertumbuh di Baduy

”Punten sakarang tos nape di mana? Sakarang diatosan di kurayni sakarang diatosan”

Sebaris kalimat itu muncul di layar ponsel ketika mobil yang kami tumpangi sedang dalam perjalanan menuju perkampungan Baduy Banten, Senin (15/3). Pengirimnya seorang warga Baduy Luar yang hendak memandu kami.

Ternyata telepon genggam pun kini telah masuk dan dimanfaatkan sebagian warga Baduy Dalam di Kampung Cipaler, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, meski banyak di antaranya masih secara sembunyi-sembunyi.

Terlepas dari adanya pengulangan dan salah ketik dalam pesan tersebut—semisal diantosan ditulis dengan diatosan, dan Kuranji ditulis kurayni—pengiriman pesan secara tertulis tersebut sedikit mengagetkan. Itu karena sering dikabarkan bahwa warga Baduy tak pernah bersekolah, sebab secara adat memang dilarang. Lalu bagaimana cara mereka bisa baca tulis?

Ketika hal ini ditanyakan, beberapa warga hanya tersenyum dan menggumam, seperti malu-malu, bahwa kemampuan membaca itu mereka pelajari sendiri saja.

Barulah kemudian dari Lilik (30), seorang warga Kampung Kaduketug yang memiliki warung didapat jawaban lebih terang. Mereka belajar membaca secara mandiri dengan mencermati bungkus rokok dan kemasan makanan minuman yang ada mereknya. ”Misalnya ada rokok merek Gentong. Kami ingat-ingat kalau Gentong itu tulisan g-nya seperti itu, e-nya seperti itu,” katanya. Huruf-huruf itu mereka banding-bandingkan dengan yang ada di merek lain. Mereka ingat-ingat bentuk huruf itu. Dunia aksara pun terbuka untuk mereka.

Belajar sendiri dengan cara ini jelas butuh waktu. Lilik butuh waktu belajar hingga tiga tahun. Menurut penjelasannya, keinginan bisa membaca itu tumbuh dari dirinya sendiri ketika ia berumur 13 tahun.

Dengan bisa baca tulis, Lilik pun mampu membaca nota. ”Kalau beli barang-barang di Rangkas (Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak) jadi mudah. Menghitung uang pun bisa,” kata lelaki yang dalam sebulan bisa empat kali ke Rangkas untuk kulakan barang ini.

Namun, sama halnya dengan dirinya yang tak dipaksa untuk belajar agar bisa membaca, Lilik pun tak mau memaksa anaknya segera bisa membaca. Ia membiarkan keinginan untuk membaca itu tumbuh sendiri. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bangga ketika sejurus kemudian ia berkisah bahwa anaknya sudah bisa menulis huruf penyusun namanya ketika masih berumur 8 tahun. ”Saya ajari dikit-dikit pas ia mau,” kata Lilik yang juga mengaku bisa mengakses internet lewat ponsel atau warnet di luar perkampungan Baduy ini.

Kemampuan membaca secara otodidak ini hanya satu dari sekian kemandirian yang dimiliki warga Baduy. Rumah dan jalan-jalan yang ada di dalam permukiman Baduy mereka bangun sendiri tanpa bantuan dari luar. ”Kecuali kalau ada musibah, seperti kebakaran beberapa waktu lalu, kami mau dibantu. Tapi seperlunya saja,” kata Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes.

Sejauh bisa ditangani, warga Baduy akan mengerjakan sendiri pemenuhan kebutuhannya. Untuk membangun rumah pun mereka menggunakan bahan yang banyak terdapat di sekitar, mulai dari kayu, bambu, hingga daun-daun sebagai atapnya.

Kebutuhan makan pun dicukupi dari hasil panenan padi di ladang. Baru ketika hasilnya tidak cukup, mereka membeli beras dari luar. Sayuran pun berlimpah. Akan halnya barang seperti garam atau ikan asin, dapat pula mereka beli dengan uang hasil penjualan hasil kebun seperti buah-buahan.

Ini pula yang dilakukan Idong, warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo. Dengan berjalan kaki, turun naik bukit, ia memikul 14 butir durian untuk dijual ke Pasar Ciboleger. Satu butir durian dijualnya Rp 10.000.

Di hari lain, warga dapat pula menjual hasil bumi seperti petai yang kini per biji laku dijual Rp 500, atau pisang yang per sisir Rp 5.000. Kearifan warga Baduy menjaga alam terbayar dengan banyaknya sumber rezeki di lingkungan sekitar yang dapat dimanfaatkan warga.

Hari-hari Asti (40), warga Cipaler, misalnya, diisi kegiatan mencari lahan untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi ia membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan.

Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dia cetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000.

Begitu fajar merekah, entakan alat tenun pun terdengar dari seantero kampung. Di salah satu rumah, Ambu Amin, perempuan yang menilik dari kerut wajahnya berusia di atas 60 tahun, masih tekun menenun benang untuk dijadikannya kain.

Di rumah lainnya, Sarni yang masih berusia 10 tahun pun mulai belajar menenun dari bibinya. Disebabkan masih belia, Sarni pun hanya ditugasi membuat tenunan ukuran kecil, yakni selendang. Keterampilan menenun bagi masyarakat Baduy diwariskan turun-temurun. Di antara mereka saling mengajari, sehingga sampai kini pun mudah ditemui alat tenun di banyak rumah warga.

”Dulu untuk mewarnai kain agar hitam dipakai kulit jengkol. Kalau sekarang sudah memakai pewarna buatan,” kata Sarmidi, warga yang berprofesi sebagai tukang celup tenun.

Selain faktor keawetan warna dari kelunturan, mulai sedikitnya pohon jengkol merupakan salah satu penyebab beralihnya jenis pewarna tenun.

Sama halnya dengan keterampilan menenun, kemampuan Sarmidi untuk mencelup pun diwarisi dari orangtuanya. Hal yang sama terjadi di ladang ketika kemampuan bercocok tanam pun diperkenalkan kepada anak-anak yang sering kali ikut berladang. Pola seperti ini menjamin beragam keterampilan bisa dipelajari secara mandiri di dalam lingkungan Baduy untuk akhirnya bisa lestari hingga kini.

Guru Besar Antropologi Universitas Padjadjaran Kusnaka Adimihardja mengatakan kemadirian mereka adalah bentuk pendidikan yang dimiliki masyarakat Baduy.

Meski tidak mengeyam pendidikan formal, mereka memiliki bekal untuk hidup dengan aktivitas yang rutin mereka jalani setiap hari.

0 Response to "Jiwa Mandiri Bertumbuh di Baduy"