Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [1]


Kemana nih dua anak itu, sudah 15 menit kok belum muncul juga,” gumam saya dengan perasaan kesal saat menunggu dua peserta tour keluarga yang ketinggalan.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA


Gelora semangat saya mendadak berubah seperti percikan api dari besi las yang sedang dicor sang tukang las. Lima belas menit sudah berlalu. Saya dan istri serta Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami menunggu di gerbang pintu masuk Komplek Perumahan Bumi Mutiara Serang (BSM) di Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani, sekira 3 kilometer dari rumah kami di Perumahan Banjarsari Permai, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Provinsi Banten.


Jarum jam menunjukan angka 10.00 WIB, sengatan matahari mulai terasa di kepala dan keringat pun mulai mengucur dari pori-pori kulit. Kepulan asap hitam dari knalpot kendaraan yang melintas di samping kami bertiga menambah muram wajah lingkungan saat itu. Tampak dua petugas keamanan berseragam biru tua yang sedang berjaga memandangi kami bertiga.


Coba Mi di telepon si Ari, tanyain ada dimana gitu,” kata saya kepada istri yang juga menahan rasa kesal. Beberapa kali dihubungi, Ari, sepupu atau anak dari adik ibu mertua dan Surya, pengasuh Fadia, handphonenya tidak di angkat. Matahari terus merangkak naik tapi dua orang itu tak juga terlihat. Akhirnya kami pun memilih memutar arah untuk kembali ke rumah sambil menahan rasa kecewa karena rencana tour ke kawasan Banten Lama, di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, terancam akan berujung kegagalan.


Padahal ini kali pertama saya membawa Fadia ke kawasan yang sarat dengan situs sejarah Banten. Pada hari tertentu kawasan ini dipadati ratusan pengunjung yang ingin ziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin. Di kawasan ini terdapat Meriam Ki Amuk, Benteng Surosowan, Benteng Spelwijk, Masjid Agung Banten, Makam Sultan Hasanudin, Masjid Pecinan, Museum Kepurbakalaan Banten, Vihara dan menara, itulah penggalan sejarah yang ingin saya kenalkan kepada Fadia diusia dua tahun dua bulan.


Menurut Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) dalam Kompas, edisi 9 Juli 2010, sejarah adalah pijakan penting bagi setiap orang dalam menjalani hidup. Begitu pentingnya sejarah sehingga tanpa kenal sejarah, seseorang tak akan memiliki rasa cinta kepada bangsa dan negaranya. Meski di masa sekolah merupakan pelajaran yang membosankan karena penyampainnya tidak kreatif dan menjenuhkan. Namun, sesungguhnya saya menyukai sejarah karena sejarah merupakan guru kehidupan.


Nilai sejarah harus dikorelasikan dengan masa kekinian sehingga memiliki manfaat yang besar bagi kita. Namun sayang sejarah menjadi kurang menarik dan membosankan karena metode pengajaran yang keliru. Sejarah menjadi mata pelajaran yang kurang bernilai karena metode pengajaran ditekankan hanya pada aspek penghapalan bukan nilai-nilai sejarah itu sendiri. “Belajar sejarah tidak bisa cuma membaca. Harus ada pengalaman empirik dengan cara mengunjungi langsung ke lokasi. Saat mengunjungi Museum Bank Mandiri Jakarta, misalnya, jangan hanya sebatas informasi soal gedung tapi apa peran gedung tersebut pada masa VOC,” kata Kambali seperti dikutip Kompas.


Ditambahkan Reza M Syarief, penulis buku Life Of Exelent, selama ini otak kita hanya dijejali oleh hapalan-hapalan sejarah yang merupakan konsumsi otak kiri sedangkan otak kanan tidak difungsikan optimal. “Kita cuma disuruh menghapal kapan Pangeran Diponegoro lahir dan wafat, keturunannya siapa. Ini penting tapi ada yang jauh lebih penting yaitu bagaimana perjuangan Diponegoro merebut kemerdekaan. Nilai-nilai inilah yang semestinya ditanamkan kepada generasi sehingga otak kanan kita hidup jadi seimbang alias tidak miring,” kata Reza dalam sebuah acara di Gedung Sulfindo, Kota Cilegon, empat tahun silam.


Minggu (1/7) 2010, itulah hari perjalanan Fadia mengunjungi kawasan bersejarah di Banten Lama. Suasana saat itu terlihat ramai karena jalur Syekh Nawawi merupakan jalur alternatif menuju ke kawasan wisata pantai Anyer, Kabupaten Serang dan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang. Sepanjang perjalanan memutar arah saya tidak henti-hentinya menggerutu kepada Ari dan Surya karena telah mengancam tour ini gagal.


Selang beberapa menit, di saat motor kami sedang meluncur dengan kecepatan kurang lebih 60 kilometer perjam, tepatnya di tikungan setelah jembatan tol atau satu kilometer dari tempat saya menunggu. Suara klakson dari motor supra fit warna merah yang dikendari oleh pria berjaket hitam dan perempuan yang mengenakan jaket merah menyahut kami. “Umi,” teriak wanita tersebut sambil melambaikan tanganya kepada kami bertiga. Saya pun langsung mengurangi kecepatan untuk memastikan siapa orang itu kok seperti sudah akrab. “Itu kayanya Surya Bi, coba balik lagi aja,” kata istri.


Setelah tengok ke belakang, motor pun langsung berbalik arah dan benar juga ternyata dua orang itu adalah Ari dan Surya, orang yang nyaris membuat rencana tour batal. “Darimana saja, kok baru muncul. Kita mah sudah nungguin dari tadi sampai mau balik lagi ke rumah,” kata istri yang ingin mengetahui alasan kedua orang itu. Rupanya motor yang mereka pakai kehabisan bensin dan mencari bensin eceran susah. “Pas ada penjual bensin, eh kembaliannya susah karena uangnya Rp 100.000 sedangkan bensin yang dibeli cuma dua liter atau Rp 10.000. Yah, jadinya lama karena harus menunggu kembalian,” kata Surya. Tanpa diskusi panjang akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan ke Banten Lama. Ancaman gagal tour ke daerah ujung utara Kota Serang ini pun tidak terjadi.

0 Response to "Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [1]"