Ngresep Teh Pocinya, Ma Nyos Satenya


Mi tolong dong buatkan teh poci,” pinta saya kepada istri setiap pagi dan sore. Ngeteh dengan peralatan poci berbahan tanah liat dan gula batu bukan saja menghangatkan badan tapi membuat saya selalu merasa tinggal di tanah kelahiran.

Oleh Abu Hazimah Ayu Fadia

Moci di daerah kelahiran saya yaitu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dikenal dengan istilah moci. “Moci, ei, moci, iuran juga tidak apa-apa kok,” kata Toto, salah satu teman permainan saya sekira tahun 1992. Hampir setiap haris aktivitas moci dilakukan dan biasanya mulai ngumpul-ngumpul antar pukul 20.00 WIB hingga 23.00 WIB.

Moci adalah kebiasaan orang di tanah kelahiranku yang suka minum teh seduh dalam poci yang terbuat dari gerabah ukuran kecil. Sebelum dituangkan ke dalam cangkir kecil, poci diisi air panas dan teh yang rasanya khas. Setelah air sudah pekat maka dituangkan ke dalam cangkir yang sudah diberi gula batu. Ngresep dan kesegaran tubuh itulah yang akan kita dapatkan setelah moci.

Selain untuk sarana berdiskusi atau ngobrol, moci bagi sebagian besar masyarakat Brebes juga dijadikan peluang bisnis dengan mendirikan kedai atau rumah makan. Di Rumah Makan “Murni” misalnya, selain menjual sate kambing muda, pemilik yang juga mertua saya menyediakan teh poci. Rumah makan ini berada di pertigaan Desa Pejagan, Kecamatan Tanjung. Tepatnya, 20 meter dari pos jaga polisi Pejagan pada belokan jalan yang ke arah Purwekerto, Jawa Tengah.

Melihat peluang yang besar setelah ada pembangunan Tol Pejagan sekira tahun 2009, pemilik pun membuat cabang baru di Desa Ketanggungan, Kecamatan Ketanggungan, persis di samping Markas Koramil Ketanggungan atau sekira 200 meter dari pintu Tol Pejagan. Pengamatan saya, hampir dipastikan rumah makan di daerah pantai utara (Pantura) ini menyediakan moci dengan harga sekira Rp 6.000 per porsi. Bagi yang memiliki uang cukup maka moci akan dipadukan dengan makanan sate kambing muda. Ngresep dan ma nyos, itulah perpaduan dua rasa yang akan kita rasakan ketika moci dan makan sate kambing muda secara bersamaan.

Menurut Pande Made Kutanegara, Antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekira abad ke-17, wilayah pantura sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China. “Pada masa lalu, daerah pantura merupakan jalur perdagangan yang ramai,” kata Pande seperti yang dikutip Kompas, edisi Minggu (18/7). Pasca lulus SLTA tahun 1999 dan merantau ke Kota Serang, Provinsi Banten, kebiasaan moci sempat terhenti beberapa tahun. Selain terbawa arus kesibukan dunia kampus juga sulitnya mencari barang dan bahan untuk moci. Kebiasaan moci mulai “kambuh” lagi di tahun 2003, dimana momen ini adalah tahun pernikahan saya dengan seorang wanita asal Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang sudah enam tahun tinggal di Kota Solo.

Sejak saat itu saya kembali menikmati ngresepnya moci sampai sekarang. Apalagi, mertua memiliki rumah makan yang menyediakan moci selain sate kambing. Bahkan untuk mempertahankan kebiasaan mocil saya pun membawa bahan-bahannya langsung dari Brebes. Kebiasaan moci biasa saya lakukan setiap pagi sekira pukul 06.30 WIB sebelum berangkat kerja dan pukul 20.00 WIB, usai pulang kerja.

Kini, seiring perkembangan gaya hidup masyarakat Indonesia. Budaya minum teh di kota-kota besar seperti Jakarta sudah menjadi peluang bisnis bagi sebagian masyarakat. Minuman yang dulu dianggap “zadul” ini kini dikemas dengan citra yang lebih modern. “Ada kenikmatan gaya hidup di dalamnya,” tulis wartawan Kompas, Lusiana Indrisari dan Yulia Sapthiani, edisi Minggu (18/7/2010).

Dengan moci persahabatan orang mulai merekat dan tumbuh alamiah. Citra rasa pada pekatnya teh dan manisnya gula batu yang khas menambah kebugaran tubuh dan semangat pun tumbuh. Sejak kebiasaan moci kembali muncul, saya selalu menyajikan poci kepada teman-teman dan para tamu yang berkunjung ke rumah. “Sekalian mengenalkan tradisi daerah dan promosi rumah makan milik mertua,” kata saya dalam hati. ****

0 Response to "Ngresep Teh Pocinya, Ma Nyos Satenya"