Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [2]


Mi, itu kakak pakai seragam sekolah kaya Dede Dia,” kata Fadia saat melihat sekelompok anak-anak sekolah dasar yang sedang melakukan kunjungan ke Museum Keperbukalaan di Banten Lama.


OLEH ABU HAZIMAH AYU FADIA

Fadia terlihat menikmati kunjungan kali ini. Bahkan, anak kelahiran 20 April 2008 ini tampak riang saat melihat sekelompok anak-anak yang memakai seragam warna hijau, mirip seragamnya dia di sekolah Az-Zahra di komplek perumahan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit dari rumah, akhirnya kami berlima sampai di kawasan Banten Lama yang menjadi tujuan. Perjalanan dari rumah menuju Banten Lama hanya melewati empat belokan dan dua jembatan.

Namun bagi anda yang berasal dari Jakarta maka harus melewati pintu tol Serang Timur dan langsung bisa belok kiri. Yah sekira 30 menit sudah sampai di Banten Lama. Sepanjang perjalanan saya menerangkan beberapa lokasi sejarah kepada istri, seperti guide wisata yang sedang menemani rombongan wisatawan. “Itu sebelah kanan jalan makam Maulana Yusuf Banten,” kata saya sambil menunjuk kea rah gapura di sebelah kanan saya kepada istri.

Sementara itu, Ari dan Surya mengikuti kami di belakang tanpa tahu apa yang mereka bayangkan tentang kawasan Banten Lama. Maklum, mereka tergolong baru di Banten. Surya baru enam bulan sedangkan Ari baru satu bulan. Jarak sekira 300 meter dari Museum Kepurbakalaan tampak beberapa warga berdiri dipertigaan pintu masuk kawasan Banten Lama.

Merekalah yang mengatur masalah parkir kendaraan para pengunjung di kawasan tersebut. Sebelumnya, saya sempat menuturkan kepada istri agar mengaku akan silaturahmi ke salah satu teman yang rumahnya di belakang Masjid Agung Banten. “Maksudnya mah biar ga ditarik karcis parkir,” kata saya kepada istri sambil tertawa.

Senjata ini ternyata tidak berguna karena tanpa ditanya alasan apapun kami lolos, ternyata untuk kendaraan motor plat A tidak ditarik parkir rumangsa orang sendiri. Tampak puluhan kendaraan bus memenuhi area parkir kawasan tersebut meski masih terlihat sumpek, karena pedagang masih ada yang berjualan sembarangan. Kesan kumuh dan kurang nyaman masih saja terlihat meski agak berkurang jika dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika saya masih ditugaskan liputan di Kota Serang.

Lokasi yang kali pertama kami kunjungi adalah Museum Kepurbakalaan Banten Lama. Di tempat ini terdapat benda-benda peninggalan sejarah masa lalu Kesultanan Banten, seperti keramik, mata uang Banten, Meriam Ki Amuk, batu nisan kuburan Sukalila dan miniatur rumah suku pedalaman Baduy. Sebagian besar barang-barang bersejarah itu berada di balik kaca agar terhindar dari tangan-tangan jahil. Museum ini berada di depan masjid Agung Banten, tepatnya di depan benteng Surosowan. Tempat ini sering dikunjungi siswa sekolah dasar.

Sayang di museum ini tidak ada brosur yang bisa menerangkan tentang isi museum. Biaya masuk ke museum cuma Rp 1.000 untuk satu orang. Jejak Meriam Ki Amuk menurut buku berjudul Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII karangan Claude Guillot, terdapat pada plant Kota Banten yang dibuat sebelum pertengahan abad ke-17 dan kini tersimpan di Perpustakaan Castello di Firenze, Itali.

Masih menurut buku yang sama, meriam Ki Amuk ini sama dengan meriam Ki Jimat, sebuah hadiah dari Sultan Demak, Jawa Tengah, saat pernikahan Sultan Hasanudin yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528 SM. “Berarti dulu kawasan ini (Banten Lama-red) dulunya merupakan pusat perkotaan Banten sekaligus perekonomian . Tuh kayanya dulu di gapura itu banyak penjaga istana,” kata istri kepada saya sambil menunjuk ke salah satu gapura.

Konon, kerajaan Banten merupakan wilayah yang tidak tersentuh oleh penjajah Belanda karena saking kuatnya Sultan Hasanudin. Kehidupan ekonomi warganya makmur dan hubungan antar umat beragama berjalan baik. Terbukti, berdiri kokoh di sekitar istana sebuah vihara yang tergolong tua. Sampai sekarang vihara tersebut masih berdiri kokoh berhadapan dengan benteng Spelwijk.

0 Response to "Mengintip Sejarah Banten di Balik Kaca [2]"