Surga Wisata Seribu Warna

Suasana sore (16/8/2006) itu begitu cerah. Tak ada pemandangan yang luar biasa sepanjang perjalanan Serang hingga Saketi, Pandeglang. Namun, mulai dari Saketi hingga Malingping, dalam suasana yang mulai gelap, terlihat di kiri kanan jalan tumpukan kayu-kayu hutan siap angkut. Begitupun dengan lalu lalang kendaraan yang mulai didominasi truk-truk pengangkut kayu dengan laju begitu kencang. Sesekali sedan yang kami kendarai terpaksa minggir untuk menghindari kemungkinan tabrakan.

MALAM mulai merambat naik, tapi suasana pesta 17-an belum juga terasa. Nyaris tak ada keramaian di sepanjang jalan, kecuali rumah-rumah penduduk yang di depannya terpasang bendera merah putih. Suasana berubah ramai begitu kami memasuki Kecamatan Panggarangan.

Keramaian itu terpusat di depan Kantor Polsek Panggarangan. Rupanya ada lomba karoke dangdut yang diikuti anak-anak hingga remaja. Tentu, suasana ini sayang jika dilewati. Arif Kirdiat dari Optima Travel yang menjadi driver memutuskan berhenti sejenak untuk menyaksikan langsung kemeriahan malam pesta 17-an itu.

Saat itu tiga orang gadis kecil tengah tampil di atas panggung. Yang satu asyik menyanyikan sebuah lagu, sedangkan dua lagi berjoget meliuk-liuk bagaikan Inul Daratista yang tengah bergoyang ngebor. "Wah, ternyata di sini pun ada Inul ya," ungkap Arif sambil geleng-geleng kepala melihat kepiawaian ketiga gadis mungil itu meliuk-liuk mengikuti irama lagu dan musik dangdut.

Para penonton yang lumayan berjubel tak henti-hentinya bertepuk tangan memberi semangat kepada ketiga anak kecil seusia kelas dua SD tersebut. Pada saat bersamaan, di jalan yang juga ramai oleh puluhan kendaraan bermotor, melintas sepasukan siswa-siswi SMA dengan pakaian putih-putih. Mereka melangkah tegak meski dengan wajah telihat lelah.

Kehadiran pasukan 17-an itu rupanya tak membuat tertarik penonton. Apalagi begitu giliran yang tampil di panggung adalah gadis remaja dengan balutan pakaian ketat dan badan semampai. Perhatian penonton semakin tertuju kepada si gadis manis tersebut. Begitu musik mengalun, si gadis pun bergoyang sambil menyanyikan lagu dengan vokal lumayan merdu. Karuan, penonton bertepuk sambil bergoyang. "Boleh lah," kata Karnoto, anggota Tim Jelajah Banten dari LAZ Harfa mengomentari aksi biduanita tersebut.

Setengah jam berselang kami kembali melanjutkan perjalanan. Suasana kembali sepi. Terlebih setelah wilayah Kecamatan Malingping kami lewati, jalanan yang kami lalui begitu gelap dan pekat. Malah, sesekali kami jumpai binatang melata melintas. "Tuh lihat ada ular melintas," kata Arif sambil menunjuk ke arah ular berwarna belang. Selain ular, musang pun kerap kami jumpai.

Memasuki Kecamatan Bayah, suasana sepi semakin terasa. Hanya satu dua mobil saja yang berpapasan. "Yang kita lalui sekarang adalah pantai," ujar Arif memecah kesunyian.

Karena gelap, pantai Bayah yang terkenal dengan ketinggian ombaknya tak dapat kami saksikan, kecuali pohon-pohon kelapa yang seakan saling bekejaran dengan kami lantaran terosorot lampu kendaraan, serta sesekali terdengar bunyi deburan ombak. Setelah beberapa kali berkelok ke kiri dan ke kanan, kendaraan memasuki pintu gerbang kawasan Desa Sawarna.

Wajah Arif tiba-tiba berubah tegang dan cemas. Rupanya ia mengkhawatirkan hambatan yang kemungkinan bakal terjadi karena jalan menuju Desa Sawarna yang menjadi tujuan perjalanan lumayan terjal dan melintasi kawasan hutan. "Kayaknya kita harus segera berhenti karena jalan rusak," kata Arif.

Arif mengaku khawatir sedan yang dikendarainya tak akan mampu menembus hutan, apalagi jalannya yang terjal. "Yang saya takutkan bukan manusia, tapi binatang," aku Arif sambil menceritakan tentang monyet-monyet yang hidup di kawasan hutan jati.

Kami cukup beruntung. Jalan menuju Desa Sawarna yang kami perkirakan masih rusak ternyata sudah dihotmix. Kami pun lega. Tapi, rasa lega mendadak sirna begitu jalanan hotmix berubah terjal dan berbatu. Apalagi ketika harus melintasi penurunan yang sangat curam. Kami menahan nafas sambil mulut komat-kamit membaca doa. "Bismillah," kata Arif dengan pandangan mata penuh konsentrasi.

Dengan gigi dua kendaraan berjalan pelan. Sesekali rem diinjak untuk menghindari batu atau lubang serta kemungkinan tergelincir. "Alhamdulillah," kami berucap bersamaan begitu berhasil melalui turunan yang curam tersebut. Kendaraan kembali melaju lancar, apalagi jalanan kembali berhotmix.

Setelah itu, suasana desa wisata mulai terasa. Di sepanjang kiri kanan jalan berdiri rumah-rumah penduduk dengan pagar rapi bercat nyaris seragam, hijau telor. "Bagaimana kalau kita menginap di pesantren saja," Arif menyampaikan usulan.

"Ya, kayaknya enak menginap di kobongan (pondokan, pen) pesantren. Lebih asyik dan alami," jawab penulis. Kendaraan pun berhenti tepat di depan pesantren.

Suasana kobong masih ramai dengan aktivitas para santri yang sedang menggali tanah untuk dipasangi gapura yang terbuat dari kertas semen bertuliskan Selamat Hari Kemerdekaan RI. Kebetulan Pak Kiai tengah berada di kobongan.

"Assalamualaikum," ucap kami.

"Waalaikum salam, mau kemana ini? Mari silakan duduk," jawab Pak Kiai sambil mempersilakan kami memasuki kobongan.

"Sengaja datang ke sini Pak," ujar Arif.

Sikap ramah dan terbuka Pak Kiai dan para santri membuat suasana cair. Kami pun hanyut dalam obrolan ringan dan sesekali dibumbui gelak tawa. Apalagi ketika penulis menanyakan nama Pak Kiai.

"Bapak siapa namanya?" tanya saya.

"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil senyum.

Karena bingung tak tahu maksudnya, saya kembali bertanya, "Siapa Pak namanya?"

"Saya.... MZ-nya di Jakarta," jawab Pak Kiai penuh teka teki.

Beberapa saat terpana, Arif tiba-tiba tertawa. "Oo... Pak Zaenuddin," kata Arif.

"Ya nama saya Zaenuddin, tapi MZ-nya ketinggalan di Jakarta," jawab Pak Kiai sambil tertawa.

Rupanya nama Pak Kiai itu sama dengan nama Kiai Sejuta Umat KH Zaenuddin MZ. Hanya, yang bersangkutan tidak memakai huruf MZ di belakang namanya.

Sesuai sholat isya di masjid yang terletak di samping kobongan, kami kembali melanjutkan obrolan. Dalam suasana yang santai dan akrab, Pak Zaenuddin banyak berkisah tentang kiprahnya selama ini, termasuk tentang semangat dan cita-citanya mengelola pesantren yang baru sebulan berdiri.

Di tengah perbincangan, muncul Mustofa, anak sang kiai. Dia pun ikut nimbrung dalam obrolan. "Ini Mustofa anak saya. Aktivitasnya selain mengajar honorer dia juga menjadi guide bagi wisatawan asing," ujar Pak Kiai mengenalkan anaknya.

Jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Setelah membuat janji dengan Mustofa untuk mengantarkan kami menjelajahi kawasan pantai dan beberapa gua, kami pamit tidur. Begitu juga Mustofa, pamit untuk pulang ke rumah. Sedangkan Pak Kiai melanjutkan aktivitas menulis. Entah, apa yang dia tulis.......

***

Pukul lima pagi kami bangun. Setelah solat Pak Kiai datang dan mengajak kami ke rumahnya. "Ayo, kita ke rumah dulu," ajaknya.

Di rumah yang sederhana itu kami disuguhi teh panas dengan panganan kripik pisang. "Ya, seperti inilah kondisi kami, seadanya. Jadi mohon maaf jika kami tidak bisa melayani dengan baik," kata Pak Kiai merendah.

"Sudah pak, ini juga lebih dari cukup. Apalagi kami diizinkan menginap di pesantren," ujar Arif.

Setelah mengobrol beberapa saat, kami pamit untuk persiapan melakukan perjalanan ke pantai. "Nanti, kalau ada apa-apa hubungi saja Mustofa, pagi ini saya juga akan ikut upacara bendera," kata Pak Kiai. Kami pun berkemas.

Pantai Ciantir adalah kawasan pantai yang hendak kami tuju. Untuk sampai di pantai yang terkenal sebagai tempat surfing itu, kami harus melintasi jembatan goyang dan melewati perkampungan penduduk.

Sekitar 200 meter dari pantai, tiba-tiba kami dihadapkan sebuah pemandangan unik. Di tengah kawasan berumput yang kami lalu, terlihat jejeran ban-ban yang dicat putih memanjang hingga mencapai ratusan meter. ’’Wah, ini sih lapangan udara," kata Arif, seraya bercerita ia pernah mendarat di bandara perintis di Pulau Kalimantan persis seperti yang dilihatnya di Sawarna.

Dugaan pun muncul. "Bisa jadi ini tempat pendaratan pesawat kecil yang dibuat para turis asing. Apa pemerintah sudah tahu ya," ujar Arif setengah bertanya.

Setelah mengamati sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tepat di bibir pantai berdiri Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan beberapa bangunan panggung mirip home stay. Sayang, pagi itu suasana TPI sedang sepi. "Nggak ada siapa-siapa di sana (di TPI)," ujar seorang pelintas yang berpapasan dengan kami.

Yang tragis adalah bangunan-bangunan mirip home stay itu. Selain tak berpenghuni, bangunan-bangunan tersebut sama sekali tidak terawat dan kumuh. Beberapa bagian bangunan mengelupas, atap pun banyak yang ambrol. "Padahal bangunan ini dibangun dengan dana APBD Provinsi," kata Arif sambil geleng-geleng kepala.

Setelah melihat-lihat sekeliling bangunan, kami menuju pantai. Selain pemandangannya yang indah dan asri, deburan ombak yang memecah sepi, serta sepanjang pantai berbatu karang dengan lumut hijaunya yang khas, semakin membuat kami tertarik mendekat. "Pantas saja banyak turis asing banyak yang datang ke sini. Habis indah sih," kata Karnoto.

Ketinggian ombak yang mencapai lebih dari dua meter memang membuat para petualang pantai asal Australia, Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia tertarik datang. "Bali dan Nias saja kalah. Sayangnya belum dikelola maksimal," kata Arif.

Selain ombaknya, karang luas yang menghampar di bibir pantai juga membuat keasyikan tersendiri bagi wisatawan. Sebab, di sela-sela karang itu banyak terdapat lubang besar yang membentuk kolam dengan ikan beraneka ragam. "Lihat tuh ikan apa itu," tunjuk Karnoto.

Di kawasan karang kami menjumpai seorang penangkap lobster. Ia tengah asyik menyiapkan umpan. "Dapat nggak Kang lobsternya," tanya penulis.

"Lumayanlah dapat dua," jawab pria yang mengaku bernama Jefri.

Dari obrolan dengannya, diketahui bahwa usaha penangkapan lobster ini cukup menjanjikan. Untuk satu kilo lobster saja dihargai 100 ribu rupiah. "Atuh ini mah bisa mengalahkan gaji pegawai negeri," kata Arif.

Puas berbincang dengan Jefri kami mengalihkan perhatian ke tengah pantai. Di tengah deburan ombak yang berkejaran, dua orang turis asing tengah asyik bersurfing ria. Sementara, nun di salah sudut pantai, empat orang bule tengah bersiap dengan alat surfing-nya.

Keempat bule itu kami datangi. "Hallo mister," sapa Arif.

"Hallo...!" kata salah seorang dari mereka.

Keempat bule itu adalah warga Australia. Mereka sengaja datang ke Sawarna khusus untuk surfing. Pantai Ciantir, Desa Sawarna, kendati belum dikelola maksimal, memang sudah cukup dikenal oleh para turis asing terutama dari Australia, khusunya bagi penggila surfing. Menurut Mustofa, guide lokal yang lancar berbahasa Inggris, para turis itu bisa tinggal di Sawarna antara satu hingga dua minggu.

Setelah berfoto bersama dan sedikit berbasa-basi, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Layar. Tanjung Layar adalah karang besar yang membentuk seperti bangunan kuno mirip peninggalan masa prasejarah. Suasana semakin eksotis manakala karang yang berdiri gagah itu dihantam ombak.

Puas menikmati keindahan Pantai Ciantir, kami memutuskan kembali ke kobongan untuk bertemu Mustofa.

***

Setelah mencari makan di warung, Mustofa dengan kaos hitam bergambar Desa Sawarna dipadu celana pendek dan spatu kets, muncul. "Darimana tadi?" tanya Mustofa.

"Habis dari pantai Kang," jawab Arif.

"Mau kemana sekarang, ke Gua Lalay atau Gua Lauk," tanya Mustofa memberi pilihan.

Kami memutuskan Gua Lauk sebagai objek jelajahan selanjutnya. Selain terkenal dengan pantainya, Desa Sawarna juga memiliki puluhan gua dengan suasana di dalamnya yang indah karena terdapat stalaknit hasil proses alam selama ratusan tahun yang membentuk berbagai ornamen alami. Apalagi jika stalaknit itu terkena cahaya senter atau obor, mampu memantulkan cahaya terang seperti intan. Gua-gua itu, tentu saja menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan.

Sesuai namanya, Gua Lalay dikenal sebagai tempat berkembangnya kelelawar yang dalam bahasa Sunda dinamakan lalay. Demikian juga dengan Gua Lauk yang berarti gua ikan. Gua ini dulunya dikenal sebagai tempat hidupnya berbagai jenis ikan khas air tawar. Sayangnya, ikan-ikan di gua tersebut kini amat jarang ditemukan.

Untuk menuju Gua Lauk, kami membutuhkan waktu hampir satu jam. Melintasi pemukiman penduduk, areal persawahan yang hijau, dan menyusuri sungai. Jalanan sesekali terjal, membuat nafas tersengal.

"Masih jauh nggak Kang," tanya penulis kepada Mustofa dengan nafas tersengal.

"Nggak, tuh guanya sudah kelihatan," jawab Mustofa. Padahal, gua itu sama sekali belum terlihat.

Setelah beberapa lama berjalan, kami pun tiba. Sepintas tak ada keistimewaan, kecuali sebentuk karang besar yang membentuk lobang tempat mengalir air. "Kita naik dulu ke atas. Dari situ kita masuk gua," ujar Mustofa sambil menyiapkan obor dan pandangan mata menuju ke arah bukit.

"Ayo kita naik," kata Mustofa lagi. Kami pun naik ke atas.

Tiba di atas bukit, seisi gua menjadi jelas terlihat. Sayang keindahan gua ini tercoreng oleh aksi-aksi vandalisme para pengunjung. Beberapa bongkahan stalaknit juga terlihat di beberapa lokasi. "Biasa, ada saja pengunjung yang mengambil stalaknit," Mustofa menerangkan.

Bisa dimaklumi jika ada tangan jahil mengambil paksa stalaknit-stalaknit itu. Selain bentuknya bagus seperti hasil pahatan, jika terkena sinar bisa memantulkan cahaya. Dipandu Mustofa dengan kedua tangannya memegang obor, kami memasuki gua. Sungguh, luar biasa indahnya pemandangan di dalam.

Jika tidak hati-hati, pengunjung yang masuk ke gua bisa celaka. Selain gelap, stalaknit yang menancap kokoh di dalam gua bisa membuat luka di tubuh. Begitu juga jalan yang licin akibat tanah lembab. Belum lagi adanya binatang melata seperti ular. "Kalau ular tanah nggak ada. Paling ular sanca," kata Mustofa.

Puas mengelilingi beberapa bagian gua, kamu memutuskan masuk ke terowongan tempat air mengalir. Awalnya tak seberapa dalam, tapi begitu masuk semakin ke dalam, air pun semakin dalam saja hingga setengah badan. "Kita kembali saja," kata penulis karena ngeri membayangkan gua tiba-tiba runtuh.

Kami putar haluan dan memilih jalur lain untuk keluar. "Alhamdulillah akhirnya kembali," ungkap Karnoto.

"Luar biasa, Tuhan memang tak pernah sia-sia menciptakan segala sesuatu," ujar Arif kagum atas pemandangan di dalam gua.

Sebelum pulang, Mustofa mengambil inisiatif untuk mengambil kelapa muda dari pohonnya langsung. Tak berapa lama, Mustofa kembali dengan empat butir kelapa muda. Tangannya begitu trampil mengupas kelapa muda itu. "Srupppp...," air kelapa pun berpindah dari batoknya ke tenggorokan.

Setelah istirahat sejenak kami berkemas.

***

Tiba di pesantren kami disambut Pak Kiai Zaenuddin. "Gimana dengan Gua Lauknya. Saya yang orang sini malah sama sekali belum pernah ke sana," aku Pak Kiai yang telah berusia setengah abad lebih ini.

Selepas solat duhur dan istirahat sejenak, kami pamitan pulang. Namun sebelumnya kami mampir terlebih dahulu ke makam Van Gogh. Namanya sama dengan Van Gogh pelukis terkenal asal Belanda yang legendaris itu, dan kabarnya, Van Gogh ini adalah adik Van Gogh sang pelukis. Entahlah. Sayang, batu tulisan di nisan yang menerangkan tanggal kelahiran dan kematian bangsa Belanda itu sudah rusak dicongkel tangan jahil.

Desa Sawarna memang memiliki catatan sejarah lumayan panjang. Kendati berada di lokasi yang nyaris terisolir, desa seribu warna dan makna ini dulunya adalah kawasan perkebunan yang dikelola bangsa Belanda. Karena itu, tak heran bila terdapat makam orang Belanda, dan masyarakatnya pun begitu terbuka menerima kehadiran orang-orang asing.

Di samping itu, Desa Sawarna juga dikenal sebagai tempat kerajinan gitar dengan kualitas tinggi. Saking kondangnya, musisi sekelas Iwan Fals pun memesan gitar secara khusus kepada sang empu, Bapak Hudaya.

Sayang, kawasan wisata yang tak kalah dengan Bali ini belum dikelola dengan baik. Kalau tidak diantisipasi, penduduk di kawasan ini bisa menjadi tamu di kampungnya lantaran banyak orang asing yang tertarik memiliki tanah di sana. Adanya ’bandara’ dan vila milik orang asing adalah bukti kawasan itu menjadi incaran.***

Ditulis oleh Abdul Malik, mantan wartawan Radar Banten (orang yang mengajari saya menulis)

Catatan: Dimuat di Radar Banten edisi Selasa 22 Agustus 2006

0 Response to "Surga Wisata Seribu Warna"